|Seorang pemuda yang tinggal
di kaki gunung, dianggap aneh oleh seluruh desa lantaran telah jatuh cinta pada
seorang gadis yang belum pernah sekalipun ia temui. Gadis tersebut tinggal di
puncak gunung. Dan kabar-kabar yang dibawakan orang hulu tentangnya lah yang
telah membuatnya tergila-gila pada gadis tersebut. “Gadis itu bernama Dewi”,“Ia cantik dan anggun”,“Ia selalu mengenakan
selendang berwarna putih”.
Suatu hari, saat pemuda
tersebut sedang berada di pinggir sungai, sebuah selendang berwarna putih, hanyut
melintas di depannya. Pemuda tersebut mengambilnya, mengamatinya sebentar dan
segera setelah itu ia berjingkrak gembira karena merasa yakin bahwa selendang
yang ia temui tersebut adalah milik sang gadis puncak gunung. Ia berlari
mengelilingi desa dan terus berteriak gembira, “Aku memilikinya!! Selendang putih milik gadis pujaanku!!”. Dan seluruh
desa yang telah mengenalnya hanya tersenyum dan membiarkannya.
Di hari-hari berikutnya,
pemuda tersebut kembali ke sungai itu dan kini ia menemukan sepatu yang
terhanyut. Ia mengambilnya, “Ini
sepatunya miliknya!” dan segera berlari pulang, menyimpan sepatu tersebut
di dalam rumahnya. Dan begitulah seterusnya, hari-harinya ia lewati.
Mengumpulkan semua benda yang terhanyut dari hulu sungai. Semua benda tanpa ada pengecualian; keranjang buah-buahan, kendi
dan bahkan sampah serta benda-benda kotor yang telah rusak tetap ia punguti
dengan penuh cinta dan ia kumpulkan dengan seluruh kegembiraan. “Ini miliknya, darinya, gadis pujaanku!
Cintaku”. Sejak saat itu, seluruh desa menganggapnya gila.
***
| Karunia dan musibah;
berapa banyak orang yang mampu berterimakasih di keduanya? Tetap bersyukur bukan
hanya di saat ia mendapatkan sesuatu saja tapi juga di saat ia kehilangan
sesuatu? Karena mungkin kita pun termasuk ke dalam bagian orang-orang yang
hanya berbahagia di saat mendapat keuntungan saja? Marah di saat kita ditimpa
musibah, dan dengan gegabah menjudge Tuhan tidak pernah adil?
Jadilah pemuda gila itu.
Mencintai Tuhan tanpa harus perlu bertemu dengan-Nya. Meyakini keberadaan-Nya
sekalipun ia hanya berupa “kabar” dari para “penduduk hulu”. Tergila-gila
pada-Nya sekalipun seluruh desa telah menganggapmu gila karena-Nya.
Karena hanya dengan
kecintaan itu; hanya dengan menyadari bahwa segala yang kita dapat adalah
dari-Nya,“Sang Pujaan” itu, kita bisa
menerima segalanya, menyambut segalanya dengan kebahagiaan. Selendang putih
itu, atau juga kumpulan sampah itu; sepatu itu, atau juga benda-benda usang
itu; karunia berlimpahmu itu, atau juga hantaman-hantaman musibahmu itu.
Kesiapan kita untuk
menghadapi apapun yang ada di hadapan kita. Sebuah ketenangan, sesuatu yang
mungkin tidak dapat dimiliki oleh siapapun yang tidak mempercayai-Nya. Mereka
yang barangkali akan lebih cepat memilih mati. Mereka yang telah kehilangan
cinta.
No comments:
Post a Comment