Thursday, September 24, 2015

KEJAHATAN TERBURUK

The world will not be destroyed by who do evil,
but by those who watched them without doing anything

Albert Einstein

Baru-baru ini, tapi juga tak sebaru terobosan konyol ala dewan eksekutif di kendurinya Donald Trump belakangan ini, seorang anak kembali meregang nyawa di tangan teman sekelasnya; lagi. Entah saya harus berapa kali lagi membubuhi kata lagi karena pada kenyataannya, hal-hal semacam ini masih belum bisa luput dari diktat usang kita tentang menjadi manusia yang adil dan beradab; menghempas jauh sabda Zarathustra tentang adimanusia ke lubang cacing bernama utopia, lagi dan lagi. Kita masih punya nisan kecil bertuliskan Renggo Khadafi di pekarangan kita, si cantik Angeline, dan belum lagi jasad-jasad tak bernama yang tak sempat dipusarakan lainnya kemarin. Tapi nyatanya, jumlah itu belum cukup untuk membelalakkan kita hingga hari ini.

Soal kronologis mencengangkan bahwa A (8th) dipukuli oleh R (8th) saat jam pelajaran, bukan saya tidak ingin menyinggungnya, hanya saja, kenyataan bahwa guru dan orang tua masing-masing telah sangat mengetahui jika A dan R sering terlibat perkelahian, jauh lebih mengganggu saya! Mereka mengetahuinya?! melihatnya tapi tidak melakukan apa-apa selain mengatakan hal konyol “tadinya saya kira itu cuma kenakalan anak-anak biasa”?! Iya, memang kenakalan anak-anak biasa; tapi saya kira pun, pejabat-pejabat rakus yang saat ini sering mencuri uang rakyat pun, bisa jadi adalah anak-anak kecil yang dulu pernah mencuri penghapus temannya, tapi guru dan orang tuanya hanya membiarkan dan bergumam “tadinya saya kira itu cuma kenakalan anak-anak biasa”.

Saya tidak sedang berusaha menyalahkan atau menyerang siapa-siapa, hanya saja saya kira tidak di bumi manapun hal seperti ini bisa terus dibiarkan. Anak-anak, the living messages we send to a time we will not see, mau bagaimanapun adalah generasi yang akan meneruskan nantinya, satu-satunya kemungkinan terbaik yang kita punya untuk membersihkan kotoran-kotoran para pendahulunya termasuk kita. Kemarin, pembiaran kita telah kembali meminta korban, besok, entah apa lagi yang akan diminta. Maka rasanya tak ada cara lain selain tak menjadi apatis atas mereka. Karena setiap kali saya memikirkan ini, kadang saya sering bertanya pada diri saya sendiri, apakah harus, menunggu anak-anak ini berubah menjadi sinyal-sinyal wifi atau kurs-kurs rupiah terlebih dulu agar kita, negara, mau memperhatikan dan menyatakan status krisisnya ketika mereka mulai melemah atau bermasalah? Entahlah.

***

Monday, September 21, 2015

LELAKI RIMBA YANG TERSESATI BELANTARA



Entah apa yang tengah melucuti dan menelanjangi segala jubah kedigdayaanku, terkadang seperti saat ini, aku merasa bahwa mimpi hanyalah sisa-sisa hasrat kekanakkan yang luput terdewasakan; sedang kenyataan adalah ayah tiri yang pada akhirnya akan paling menentukan ya atau tidaknya.

Sebutlah kemana aku akan mengarah, aku yang dulu, akan melantang “Mahameru! Negerinya para dewa! Disanalah mimpiku akan kujemput”. Tapi hari ini? Entah. Aku tidak tahu. Aku tersesat. Tetiba aku menjadi manusia tanggung saja. Pendaki yang terlalu ragu untuk kembali turun tapi juga terlalu takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain di balik belantara di depannya.

Entah karena aku yang memang salah terka barangkali. Kukira menguasai banyak hal adalah cara terbaik untuk menjadi utuh, nyatanya ia hanyalah sekat berperekat sagu yang memudahkanku dipecahkan berkeping-keping saja. Kukira membuat jalan sendiri dengan memangkas belantara akan mempercepat lajuku, nyatanya ia hanya membuatku berputar-putar dan tersesat di tengahnya saja. Kukira mendengarkan beberapa kicauan maya selama berjalan akan membuatku merasa bersemangat, nyatanya ia hanyalah kawan semu yang tak pernah benar-benar mengusir senyap di sampingku. Aku tidak tahu itu.

Aku benar-benar tidak tahu. Kemana dan bagaimana aku harus menjadi saat ini, yang kutahu aku hanyalah keping pecahan yang berjalan tersesat sendirian. Keliru dan tak lagi bisa membedakan mana yang bisa dinikmati dan mana yang harus diludahi.

Aku yang kini hanya sekedar ini, lelaki rimba yang tengah tersesati belantara; yang saat ini hanya bisa menunggu selain menanti, setibanya apapun, yang barangkali mau berbaik hati menunjukkan arah, terlebih menjadi alasan dan perasaan terbaik untuk menuju.

***

Sunday, September 20, 2015

ALIF KECIL DAN KERANJANG TISUNYA




Diantara gelak tawa yang menyurupi tiap ubun-ubun kala itu dan kegembiraan tentang menjadi berhala sesaat untuk setiap hidangan malam itu, ia adalah sebuah pengecualian. Tubuh mungil dengan sekeranjang tisu di muara lengannya, yang selalu bergidik tatkala keriangan ditanyakan kepadanya.

“Aku meninggalkannya di sudut rahim ibuku sesaat sebelum terlahir. Memintanya untuk bertahan dan tetap menunggu dengan bersabar hingga aku kembali kelak.”

adalah ujarnya untuk para tuan yang berjanji akan membeli tisunya seandainya ia mau bercerita; berulang tiga, lima hingga sekian belas kali hanya agar tisu-tisunya habis terjual. Satu-satunya sampan untuknya berlayar pulang, menuju rumah yang sebetulnya pun, tak pernah sepenuhnya menjadi rumah.

“Entahlah, aku tidak mengerti apa yang kalian katakan tentang keluargaku, yang kutahu ayahku adalah seorang dermawan. Ia seringkali meminta semua uang ibuku hanya agar ia bisa membayarkan tunggakan sekolah para gadis di warung berlampu remang di sana jika kalian perlu tahu.” kilahnya.

“Walaupun terlihat agak kasar ketika ia mencambuki ibuku jika periuk nasi tidak berhasil diisi lagi, tapi bukankah kalian pun telah lebih dulu tahu, bahwa cinta selalu punya banyak cara?” lanjutnya.

Keluguan itu; tak ada satupun yang benar-benar lebih tersesat darinya selain hati kecil sang pencerita itu sendiri. Ia yang harus tetap memilih begitu sekalipun kenyataan terpahitnya telah lama mendewasakannya; sekalipun mata yang mengacuhinya telah lama menjadi hal yang paling ingin ditikamnya.

“Kita tidak sedang menjual tisu nak. Kita sedang menjual ketakutan; kegagalan dan citra-citra terburuk dari hidup seorang manusia nak.”

Nada-nada itu kembali mengianginya lagi.

“Beberapa masih membutuhkan itu hanya agar mereka bisa menakuti anak-anak mereka untuk mau belajar dan mencari arahnya; memaknai apa yang telah dipunyainya; atau juga agar mereka bisa tetap ingat bahwa negeri yang tengah dipijaknya saat itu adalah narasi terbesar yang belum terselesaikannya.  

Kita adalah nada-nada sumbang yang harus ada untuk memaknai suara parau mereka nak; muntahan yang harus keluar bersama racun dari tubuh mereka; anjing-anjing kotor yang harus terus mencuri sarapan mereka tiap pagi agar mereka mau beranjak dan berlari mengejar sesuatu dalam hidupnya.

Dan untuk segala tanggung jawab peran itu, pengorbanan untuk menjadi kita itu; yang kutahu, tak pernah ada lagi yang cukup kuat menanggungnya selain diri kita sendiri nak.”

Jadi berhentilah mengatakan bahwa dirimu tidak berguna.”

Bisik sang ibu, di hembus terakhir yang paling menghantam dan paling diingatnya. Tempat keriangannya disemai yang kini meninggalkannya sendirian di ceruk terdalam keterasinganannya.

Dialah ia.
Alif kecil yang tergenang di kubangan kota.

Mencari remah roti di tepian iba sebuah pesta.

***       


Wednesday, September 9, 2015

DARI LELAKI YANG MENJATUHKAN KEPALANYA SEMALAM


Jika ada satu tempat paling meneduhkan di dunia ini
sudah pasti itu adalah pangkal pundakmu
Tempat aku menenggelamkan kepalaku semalam
Dan membenamkan dalam-dalam beban satu telingaku
Menutupinya dengan segala keheninganmu
Dan membiarkan yang satu lainnya tetap bekerja

Duhai kau perempuan berpundak teduhku
Begitulah caramu meringankan setengah urusanku
Seandainya kau merasa perlu tahu

***


PENCEMBURU TANPA HAK



Ada kalanya saat malam-malam terasa sedikit lebih rumit
Dan aku menjadi seorang pencemburu yang tanpa hak
Menuntut harga sambil menerka apa dan bagaimana
Caramu menghabiskan malam-malam panjang bersama mereka
Ucapan-ucapan mesrakah?
Kecupan di ujung tengkukmukah? Bibirmukah?
Atau bahkan mungkin gerayang jemari di lingkar tubuhmukah?

Entahlah,
Akupun tahu jika paranoia itu bisa jadi hanyalah proyeksi
dari dendam rinduku yang ingin aku balaskan padamu malam ini
Malam kemarin; dan juga pada sekian malam sebelumnya

Hanya saja sekali lagi
Aku dan siapapun tahu
Kau adalah palung Atlantik untuk seekor koi akuarium rumahan
Sebuah konstelasi semesta,
yang ketimbang sia-sia menghabiskan seumur hidup enigma
untuk bisa mengenkripsi segala kerumitan morsemu,
kau hanya baru dapat selesai,
dengan cukup diimani dan diamini saja


***