Monday, July 28, 2014

EID




Director | Irvan Aulia
Cinematographer | Fadhlan Makarim
Camera & Editor | Irvan Aulia & Fadhlan Makarim
Music | Keith Keniff
Narator | Shalimar


***
Ada hasrat yang tertahan di tiap liur yang kembali ditelan
Ada emosi yang tak diungkap di balik dada yang tengah diusap

Ada setumpuk harapan diantara peluh yang turun berjatuhan
Ada mimpi yang diuntai di balik kantung receh yang tak pernah usai

Ada waktu-waktu yang dikejar sekalipun harus mengayuh ketika perut sedang lapar
Ada keluarga yang menemani ketika rumah menjadi sesuatu yang kita tarik setiap hari

Ada yang membangunkan saat sahur, ketika sebagian kita masih tertidur
Ada yang membagikan takjil walaupun hanya beberapa butir candil

Ada pinta yang ingin diwujud di antara kepala yang selalu merendah di dalam sujud
Ada Tuhan yang terus dipuji ketika firman-Nya tak pernah berhenti kita kaji

Ada pagi yang menjadi awal ketika ia tiba pada hari pertama Syawal
Ada tangan yang saling menjabat ketika maaf mencairkan mereka yang telah saling menghujat

***
Tapi ketika riuhnya telah mereda kultum-kultumnya tak lagi menggema, apakah ada diantara kita yang dapat tetap menjaga segala kebaikan yang di dalamnya pernah tercipta?

Memberi tanpa menebar iri, berbagi sekalipun hanya sepotong roti
Merendah tanpa harus menunggu ibadah, bersahaja sekalipun ia seorang raja

Karena hanya dengan kesadaran itu, keseimbangan vertikal dan horizontal yang terjaga itu
kita baru dapat merayakan hari kemenangan ini seutuhnya.

***
Kemenangan, tak berhenti di hari ini

Thursday, July 10, 2014

DIALOG IMAJINER : ANAK YANG KAYA

INT. RUMAH, MALAM HARI

Anak :
“Ayah, saat ini aku sudah mempunyai 3 sepeda berbeda, game console terbaru, sepatu-sepatu yang mahal dan berbagai jenis mainan.

Apakah dengan itu artinya aku sudah dapat disebut sebagai anak yang kaya?”

Ayah :
“Coba kau berikan semuanya kepada anak yang lain”

Anak :
“Berikan semuanya?”

Ayah :
“Ya, semuanya nak”

Anak :
“Jika aku berikan semuanya hingga habis, lalu apalagi yang aku punya ayah?”

Ayah :
“Jika begitu, kau masih termasuk anak yang miskin.

Orang kaya tidak pernah percaya hartanya akan habis sekalipun setiap hari ia memberikan segalanya.”



***

Saturday, July 5, 2014

CUL DE SAC

“Fasis yang baik adalah fasis yang mati”
Homicide – Puritan


Pemilihan presiden tinggal menghitung hari. Timeline sosmed tempat self-branding kita saling berpacu, kini makin sesak dijejali debat-debat kusir yang semakin sporadis. Terus menggila dan semakin mirip gonggongan ketika ejekan, cacian dan makian meminta tempat lebih di dalamnya. Inilah saat-saat ketika batas nalar kita sedang digetarkan, kewarasan kita sedang mencari kembali pengertiannya; dan kini, ketika ia tiba pada video “nasionalis” ala ahmad dani, bentrokan di ujung kampanye atau juga keberpihakan sebagian media kepada salah satu sudut ring, saya rasa kita tidak perlu takut lagi menghadapi kurs rupiah yang sedang turun saat ini. Karena kenyataannya, melewati pilpres kali ini justru jauh lebih berat untuk dihadapi negeri ini ketimbang apapun.

***

Entah bagaimana, totalitarianisme, komunisme, liberalisme atau rasisme tiba-tiba saja menjadi diktum-diktum besar yang dirayakan di antara tumpukan informasi kita terkait pilpres hari ini. Saya tidak tahu apakah ini biasa terjadi di periode sebelum-sebelumnya atau tidak, tapi yang jelas, bayangan bahwa ledakan sosial (atau apapun) yang bisa terjadi kapan saja karenanya, menjadi bagian paling mengerikan bagi saya; mengingat juga bahwa isu-isu tersebut sebagaian besar adalah jejak hitam sejarah kita, trauma-trauma kita. Dan celakanya, trauma itu muncul di sebagian kita dalam bentuk ekstrimnya, menghasilkan fanatik-fanatik buta yang nyaris kehilangan logikanya ketika justru, kesadaran nalar sedang sangat dibutuhkan untuk mengahadapi pilpres kali ini.  

Tidak berhenti sampai disitu, bagi kita – peradaban2 plastis ini, manusia2 serba cepat ini – dunia virtual bernama internet ikut memanasinya. Sosial media yang sebelumnya telah merebut paksa pengertian tentang realitas nyata, kini kembali memaksa kita untuk menjadikannya sebuah medan pertempuran politis. Tidak ada yang salah dengan itu sebetulnya, karena paling tidak gejala itu bisa menunjukkan bahwa kesadaran politik kita sedang sangat meningkat jauh. Tapi yang jadi masalahnya adalah, sebagian kita lupa bahwa peleburan ruang privat dan publik serta kebebasan radikal yang ditawarkannya; ketidakhadiran sistem editorial, kode etik serta otoritas pengawas di dalamnya, telah menempatkan internet sebagai ruang tempat informasi prematur banyak bertaburan (termasuk juga dengan blog ini). Hasilnya, kebanyakan dari diskusi kita terjebak dalam aktivitas timpa-menimpa informasi yang sifatnya kadang sangat subyektif dan keabsahannya perlu dikaji lebih jauh.

Selain itu, dua gejala besar itu juga seringkali dicerna tanpa menyadari bahwa hiperbolisme – sebagai konsekuensi dari sebuah momentum – telah menjadi komponen utama di banyak informasi, yang sudut pandangnya bergantung pada kepentingan di baliknya. Judul-judul provokatif, isi yang dilebih-lebihkan serta berita-berita gak penting terkait masing-masing kandidat menjadi bentuk-bentuk hiperbolisme yang sering saya temui. Dan parahnya lagi, informasi-informasi itu, kadang dicerna dan disimpulkan dengan pola nalar kita yang dalam buku Rekayasa Sosial (Rakhmat, 1999) disebut dengan kesalahan berpikir atau intellectual cul de sac. Salah satu yang sering saya temui adalah fallacy of dramatic instance (over-generalisation), penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (Rakhmat, 1999 : 5). Misalnya saja, ada orang yang mengatakan bahwa “Orang Islam itu jorok-jorok, buktinya Indonesia yang mayoritas muslim, orangnya jorok-jorok” atau “Nazi dan fasisme itu tidak jahat untuk saya, maka pastilah ia juga tidak jahat untuk Indonesia” berarti sudah masuk ke dalam fallacy of dramatic instance. Dan contoh lain dari kesalahan berpikir tersebut adalah,

Ryan adalah mahasiswa ITB.
Irvan adalah mahasiswa ITB.
Ryan itu ganteng
Berarti Irvan juga ganteng



Saya tidak bermaksud untuk menyerang mereka yang tengah giat menyampaikan pandangan politiknya di media sosial atau apapun, karena tentu saja itu adalah bagian dari partisipasi demokrasi kita. Tapi fanatisme yang semakin hari semakin menggila, cukup menjengkelkan dan membuat saya gelisah. Kita sama-sama hidup di dalam gemerlap post modernisme ketika ketidakpastian menjadi satu-satunya kepastian; ketika institusi-institusi pemegang otoritas kebenaran kita telah sama-sama runtuh. Dan itu artinya, di antara kita tidak pernah ada yang berhak memonopoli definisi kebenaran apapun sambil kemudian menganggap yang lainnya adalah salah. Tapi ketika itu tetap terjadi, ketimbang kesaksian Allan Nairn tentang dugaan fasisme yang dianut salah satu kandidat, ketimbang bau tengik orde baru yang semakin tercium tajam, saya jauh lebih ketakutan jika masing-masing kita telah mulai saling mengkafirkan mereka yang berbeda pendapat, telah saling memaksakan pemikirannya dan mulai saling membunuh atas itu.

***

Kita telah sama-sama mengetahuinya, sangat keliru jika masa depan negeri ini hanya ditentukan oleh satu orang saja. Siapapun yang terpilih nanti, negara tetap tidak akan menjadi apa-apa tanpa keterlibatan kita. Dan siapapun yang terpilih nanti, saya harap kita dapat sama-sama meyakininya, bahwa hanya di tangan kita, masa depan kita masing-masing ada.




Wednesday, July 2, 2014

DIALOG IMAJINER : PULANG BERMAIN

INT. RUMAH, SORE

Anak :
“Aku sangat takut jika aku nanti mati Bu”

Ibu :
“Memangnya apa yang kau takuti dari kematianmu nak?”

Anak :
“Entahlah, aku juga tidak tahu”

Mendengar itu, ibunya tersenyum.

Ibu :
“Jika seandainya sekarang kau sedang pergi bermain, lalu Ibumu yang telah melahirkanmu ini, yang kau tahu sangat mencintaimu ini menyuruhmu untuk segera meninggalkan permainanmu dan pulang, apakah kau akan takut untuk pulang?”

Anak :
“Tentu tidak Bu”

Ibu :
“Lalu bukankah kematian pun adalah hal yang sama nak?”

***