Friday, November 30, 2012

DIALOG IMAJINER : SETAN DAN FANATISME



EXT.JALAN, MALAM HARI

 
 Setan Satu
“Hey, coba lihatlah manusia itu. 
Sepertinya ia tengah memungut sesuatu dari tanah.”

Setan Dua
“Ya aku melihatnya.”

Setan Satu:
“Apa kau tahu sesuatu yang ia temukan itu?”

Setan Dua
“Ya aku tahu. Ia menemukan sebuah kebenaran.”

Setan Satu:
 “Sebuah kebenaran? 
Sialan lantas mengapa kau tidak mencegah itu semua terjadi?” 

Setan Dua
“Tidak apa. 
Aku akan membiarkan manusia itu mempercayai kebenarannya itu dengan sungguh-sungguh. 
Selanjutnya ia akan percaya bahwa manusia yang berbeda dengan dirinya adalah salah.
Ia akan mengkafirkan mereka. Mengucilkan mereka. Menghujat mereka. 
Menghancurkan rumah ibadah mereka. Membunuh mereka serta memerangi mereka. 
Dan setelah itu, aku hanya perlu membujuknya untuk mengajak manusia lain agar melakukan hal yang sama dengannya.”

Setan Satu
“Hahaha… sialan.
Cerdik sekali kau.”

Thursday, November 29, 2012

KOMA



Perjalanan ini, dari satu kota ke kota lainnya. Sebuah rentangan panjang antara dua entitas tentang kemodernan. Berusahalah untuk menikmati pada apa yang tampak di balik batas ini. Sawah, warung nasi dan manusia itu. Bayangan pepohonan. Pada anak yang tengah mencium tangan ibunya itu. Atau pada sepeda ontel yang tengah bertarung dengan mesin-mesin pabrikan itu. Karena pada setiap jejak yang terekam itu, akan ada kerinduan yang selalu meminta ruang bersamanya. Supaya ia semua bisa menjadi sebuah koma. Untuk setiap paragraf yang sudah terlalu jenuh oleh frase-frase urban ini.  
Hingga kemudian ia akan menjedakan pikiranmu.






- Bandung koma Jogjakarta,  23 November 2012 -    
 

Tuesday, November 27, 2012

PORTRAIT DALAM LANDSCAPE



Jauh dari tempat aku berdiri ini, aku tinggalkan semua pemikiran dan hipotesisku dalam sebuah barisan panjang horizontal. Semuanya portrait. Ia merekam jelas segala tegangan yang telah banyak menyita ruang di pikiranku. Seperti tegangan dalam suara parau para pengamen jalanan itu. Atau juga tegangan dalam tumpukkan uang para birokrat korup bajingan itu. Dalam teriakkan provokatif para fanatik-fanatik goblok itu. Atau juga dalam omong kosong teori-teori estetik para pejuang elitisme budaya tinggi itu. 

Tapi dari tempat aku berdiri ini, tak lagi terlihat barisan portrait itu. Ia menjadi sebuah landscape. Dengan dentingan irama naturalisnya. Dan entah mengapa, segalanya terlihat lebih indah dari sini. Sekalipun dibuat oleh kumpulan tegangan yang memuakkan itu.

Atau barangkali memang ada satu hal yang perlu aku mengerti di sini. Bahwa "tidak pernah ada kehidupan yang sia-sia."


-Gunung Gede, 18 November 2012-