Thursday, November 28, 2013

RENAME



***
Apa kau tahu jika kekuatan punya nama lain?
Ia adalah kelemahan yang kau syukuri

***


Wednesday, November 27, 2013

ANIMAL RATIONALE


***
Jika Aristoteles menyebut manusia
sebagai binatang yang berpikir,
lalu mungkinkah jika aku pun menyebut
manusia yang tidak berpikir
sebagai binatang?

***




Tuesday, November 26, 2013

HUJAN SOREKU



Dan seperti pada waktu-waktu yang lalu,
setiap kali aku tiba di tempat ini, ia selalu disana.
Di sebuah persimpangan.

Dengan sebuah flute yang selalu ia mainkan saat anak-anak lusuh
itu telah berkumpul untuknya.
Tiga, lima belas, tujuh puluh enam dan hari ini bahkan ia mengajak
beberapa ekor kucing untuk bergabung. Tak mengherankan.
Kudengar setiap pagi ia sering menyisakan remah roti di meja
makannya hanya agar beberapa semut bisa membawanya pulang.

Ada yang selalu kutunggu darinya setiap sore.
Sebuah ritus kecil, saat rambut sebahunya mulai digodai angin.
Saat rok selututnya mulai menari-nari kecil di ujung-ujung kulitnya.
Candu itu, membuatku diam-diam harus selalu menjatuhkan beberapa
koin di hadapannya. Memesan teh sepanas mungkin,
dan menunggunya dingin tanpa kutiup sedikitpun.
Bahkan saat telah menjadi dingin, ia tetap kuminum seolah-olah
ia masih sangat panas. Berulang-ulang kulakukan hanya agar
aku bisa duduk di kursi warung ini.
Tempat terbaik untuk mengaguminya.

“Kau adalah alfabet pada tiap buku cerita yang mengisahkan
tentang kebaikan. Kau adalah nada keempat pada sederetan nada lima notasi.
Sebuah blue note. Muses untuk setiap mereka yang
tengah diperangi apartheid jalanan.” Kataku

***

Saturday, November 23, 2013

LILIN KECIL

Ibunya cukup terkejut ketika anak semata wayangnya yang nampak tergesa-gesa, tiba-tiba saja mengatakan bahwa ia akan pergi jauh dan tidak akan kembali pulang.
“Memangnya kau hendak kemana nak? Kau hanya anak berumur 9 tahun yang bahkan untuk pergi ke sekolah saja masih harus diantar”
Anaknya hanya tersenyum. Sambil kemudian menceritakan tentang pertemuannya tadi.
“Sesaat yang lalu seorang lelaki tiba-tiba menghampiriku bu. Ia menawariku 3 buah cokelat ajaib yang harus kupilih salah satunya.
Jika aku memilih dan memakan cokelat pertama, ia mengatakan bahwa aku bisa mendapatkan kekuasaan apapun yang aku inginkan. Sedangkan jika kupilih cokelat kedua, ia mengatakan bahwa aku bisa mendapatkan seluruh harta yang ada di dunia ini bu.”   
Sang Ibu menajamkan garis dahinya. Ia mencoba mencerna lebih dalam cerita yang dimaksud anaknya.
“Lalu kau memilih cokelat yang mana?”
Sang anak terdiam sebentar.
“Aku memilih cokelat ketiga.”
“Cokelat ketiga? Apa yang akan terjadi jika kau memilih cokelat ketiga nak?”
Raut wajah anaknya menegas.
“Aku akan menjadi sebuah lilin bu.”
“Lilin?!”  Ibunya semakin terkejut mendengar itu.
“Di sebuah tempat di pelosok yang jauh, ada seorang anak yang kelak akan menjadi orang besar bu. Ia adalah satu-satunya orang yang kelak akan paling mampu memanfaatkan kekuasaan dan harta apapun yang ada di dunia ini.
Saat ini, setiap malam, di meja belajarnya, ia selalu menyalakan sebuah lilin sebagai penerangan untuknya selagi membaca dan belajar.
Dan lelaki tadi mengatakan bahwa jika aku memilih cokelat ketiga, aku bisa mendapatkan kehormatan untuk menjadi salah satu dari sekian banyak lilin yang ia nyalakan tiap malam itu.”
Bola mata ibunya mulai bergenang. Sang anak masih melanjutkan
“Sekalipun hanya sebagai sebuah lilin kecil, sekalipun tubuhku harus sakit terbakar; bahkan sekalipun untuk hidupku yang hanya semalam, aku hanya ingin menjadi berarti bu.”
                                                                ***

   

DI TELAPAK KAKINYA





***
Dan tatkala dokter tersebut menyatakan
bahwa kedua kaki ibunya
harus segera diamputasi,

ia semakin ketakutan dibuatnya.

"Apakah hari ini aku akan benar-benar
kehilangan surgaku?"

***





Wednesday, November 20, 2013

DIALOG IMAJINER : EDELWEISS



                                                                                                 INT. RUMAH, SORE

                      Anak lelakinya yang sedari tadi ia tunggu kepulangannya, baru saja tiba di hadapannya.
                      Ia nampak bergegas. Dan entah apa itu, sepertinya ia membawa sesuatu di tangannya.

Ayah : “Apa yang kau bawa itu nak?”
Anak : “Oh ini? Aku membawa seikat edelweiss ayah.”

Ayah : “Edelweiss? Kukira kau sangat mencintai edelweiss?”
Anak : “Ya, aku benar-benar sangat mencintainya Ayah”

Ayah : “Lalu mengapa kau memetiknya dan membawanya?”

Keheningan menghampiri sebentar, menengahi pembicaraan itu.

Anak : “Tentu saja karena, aku ingin memilikinya”

Ayah : “Apa kau tidak tahu bahwa memilikinya hanya akan membunuhnya saja?!
 Sekalipun kau melakukannya atas dasar kecintaanmu!”

Sang anak terdiam. Ia sedikit kebingungan.

Ayah : “Edelweiss memiliki masa hidup yang relatif pendek. Setelah dipetik
    beberapa kali, ia tidak dapat menghasilkan benihnya lagi. Dan hingga
    pada akhirnya, secara perlahan ia akan lenyap dari lingkungannya tumbuh.”
           
                                                        ****

Ayah : “Bukankah kita pun telah sama-sama mengetahuinya nak,
  mencintai dan memiliki adalah dua hal yang sangat berbeda.”















Sumber foto: koleksi pribadi Agathon Yuda (edelweiss gunung gede)
Editor : kontemplasi diagonal