Tuesday, April 24, 2012

MENDIANG REPUBLIK


Apa kita sudah merdeka?
    Dan kita masih menganggapnya pertanyaan klasik. Tapi akan menjadi lebih klasik jika kita tetap tidak mampu menjawabnya. Akui saja bahwa kita tidak mempedulikan ini. Lantas hanya melenggang pergi menuju tempat tidur kita. Maka bersiaplah bahwa sang Mendiang Republik akan tetap membisikkan dan mempertanyakan hal yang sama di telinga kita. Menggoyangkan sedikit kemapanan mimpi-mimpi indah kita. Sehingga kita terbangun dalam pagi yang sedikit berbeda. Memperingatkan kita pada sebuah pertanyaan yang masih enggan dijawab. Saranku adalah temui sang Mendiang Republik. Agar setidaknya kita sedikit mengerti bahwa pertanyaan ini penting untuk sang Mendiang Republik.    
    Atau mungkin pertanyaan ini memang bukan untuk dijawab. Ya, dan mungkin pertanyaan ini memang hanyalah sebuah kicauan burung untuk menyemangati setiap pagi kita, sebuah sinar matahari yang akan membakar semangat kita, sebuah langit sore yang akan menemani penghayatan kita dan sebuah kesunyian malam yang akan terus menaungi perenungan kita. Hingga kita tak tersadar bahwa kita sudah sampai padanya. Pada sebuah titik kemerdakaan seorang manusia.

Monday, April 23, 2012

MENJENGUK PESAKITAN MUSIK ANAK



“Children are the living messages we send to a time we will not see.”
 - Neil Postman, The Disappearance of Childhood (introduction), 1982 -

Sumber : Koleksi pribadi oleh Frans Sihombing
Sepertinya aku merasa ada yang hilang disini. Semacam komposisi diatonik sederhana yang tak berdistorsi. Kadang bercerita tentang kecintaan pada ayah dan ibu, kadang juga bercerita tentang alam. Pernah tentang seekor lumba-lumba, pernah juga tentang orangutan. Dan aku masih mampu mengingat namanya. Musik anak! Tentang apa yang kutulis disini, aku menyebutnya realita musik anak Indonesia.
Setengah tak percaya bahwa pembicaraanku lagi-lagi beririsan dengan lingkaran moral. Ya, karena buatku perbincangan musik anak bukan lagi soal industri, harmonisasi melodi atau juga penjualan kaset. Ini tentang “the living messages we send to a time we will not see”.
Tak perlu berpura-pura terkejut hari ini anak-anak ramai menyanyikan lirik-lirik dewasa. Setelah volume musik-musik mereka dikecilkan menuju angka nol kemarin. Dan selanjutnya tak perlu juga terkaget-kaget membayangkan apa yang terjadi besok. Karena realitas sudah sejak lama berada dalam ruang pesakitannya. Berikan tanda tanya besar pada kesadaran kita. Bahwa kita terlalu mengagumi egosentris kita. Sebuah positivisme Individualis. Membuat kita tak terlalu menganggap penting fenomena sosialitas yang tak bertalian dengan diri kita.
Ada beberapa poin yang ingin sedikit aku ketengahkan disini menyoal apa yang terjadi pasca keterhilangan musik-musik anak tersebut.
Pertama, anak-anak menjadi tidak memiliki pilihan untuk memperdengarkan sebuah musik selain musik-musik orang dewasa. Komposisi ini diperparah dengan hampir tidak adanya grup-grup musik mainstream yang berani membawakan lirik-lirik berkualitas yang setidaknya sedikit bermuatan intelektual. Lalu musik kembali berlabuh dalam tema-tema dangkal yang membosankan. Cinta, pacaran, perselingkuhan, playboy, putus cinta, cewek seksi dan seterusnya. Dan jika kita menyepakati ini sebagai musik dewasa, lantas aku mempertanyakan dimana bagian kedewasaannya. Tebak apa yang selama ini kita lakukan?  Kita ikut membuatnya menjadi subur. Sebuah konsep “pemikiran dangkal”. Yang beberapa orang senang memperhalus istilah tersebut menjadi “pemikiran sederhana”.
Sumber : Koleksi pribadi oleh Tito Yusuf
Selanjutnya secara tak disadari nutrisi cacat ini terjejalkan ke dalam pikiran anak-anak hari ini. Sebuah kertas putih dalam teori tabularasa. Mereka mengakrabkan diri dengan beberapa istilah yang sebenarnya tak ada relevansinya dengan mereka. Hampir tanpa sebuah filter. “Berciuman”, “berpelukan”, “mencintai”, “selingkuh itu indah”, “playboy”, “cewek seksi” dan seterusnya. Kita mungkin boleh mengasumsikan bahwa anak-anak tidak mengerti isi lirik tersebut. Tapi sepakati bahwa anak-anak menjadi terbiasa dengan istilah-istilah itu. Lalu setujui teori perkembangan kebudayaan manusia. Bahwa pengulangan menjadikan pembiasaan, pembiasaan menjadikan norma, norma menjadikan sebuah budaya. Dan saranku adalah kritisi setiap bentuk yang menjadi pengulangan itu.
Berandai istilah-istilah dewasa itu terus diteriakkan di setiap telinga anak-anak, budaya apa yang akan diproduksi anak-anak ini? Maka inilah the living messages we send to a time we will not see.
Para penganut progresif mungkin akan mewajarkan dinamika ini. Sedang para pengagung konservatif akan meludahi pergeseran nilai ini. Apa yang harus kita lakukan?
Sumber : Koleksi pribadi penulis
Negara Indonesia dengan segala nilai kebudayaannya adalah Negara bermoral. Menjadi sebuah kewajiban untuk mengkritisi setiap pergeseran nilai moral yang terjadi. Tapi tanpa juga menghilangkan variabel lain bahwa dunia mengalami akelerasi dengan sangat cepat. Kemungkinannya menjadi dua. Perombakan estetika bermusik seluruh industri. Baik bentuk maupun isi harus memiliki relevansi universal. Atau kedua, bangunkan kembali musik-musik anak yang bercitrakan dunia anak. Bukan band anak-anak yang terkesan anak-anak padahal menyanyikan cerita orang dewasa. Yang belakangan sempat populer di jajaran industri musik tanah air. Anggaplah bahwa komposisi musik anak sudah ketinggalan jaman, maka jalan tengahnya penciptaan komposisi musik yang relevan dengan masa kini tapi tetap dengan memperhatikan muatan isi lagu.
Lalu dimana para orang tua? Haha. Aku mungkin hanya bisa memberitahu bahwa anak-anak kalian tengah bermain dengan sebuah pisau potong. Dan selalu ada dua kemungkinan. Ia menjadi seorang koki handal. Atau mungkin ia menjadi seorang perampok. Dan ada dua kemungkinan lagi bagi kalian. Kalian peduli dengan ini, atau tidak sama sekali.

Saturday, April 7, 2012

SENANDUNG SENJA

Dan aku terdiam dalam hiruk pikuknya
Sebuah langit yang bercerita tentang warna biru dan jingga.
Bukan putih atau hitam yang menari dalam keseimbangan
Bukan juga warna pelangi yang berkicauan dalam keindahan
Sesuatu yang berkejaran dengan angin,
Tapi aku tak tahu apa itu.
Aku menyelaminya sedalam mungkin, merenunginya sejauh mungkin, 
menghayatinya hingga tak berkesadaran
Apa aku hidup dalam suatu kebutuhan kosmik?
Bahwa pertanyaan itu kembali muncul dalam rongga-rongga pernafasanku
Selanjutnya aku tersenyum.
Sambil mengingat kembali si pemikir kecil yang pernah berdiri
di tempatku berdiri sekarang, yang pernah menerka-nerka
bahwa Tuhan ada di balik awan-awan itu

Maka begitulah aku
Bersama langit sore yang tak pernah kehilangan pesonanya.
Selalu tentang kerinduan, selalu tentang perenungan, dan selalu tentang kesendirian
Hingga aku sampai pada sebuah titik...
Sunyi...
dan kosong...