Tuesday, January 29, 2013

PARA PEMENGGAL







"Bahkan kematian pada pisau guillotine, 
jauh lebih manusiawi ketimbang perkataan para pemenggal mimpi itu."







Sumber foto : www.executedtoday.com


Tuesday, January 22, 2013

PAGI HARI INI













DIALOG IMAJINER : PENJUAL SYUKUR




EXT. HALAMAN CAFE, SIANG

Teman :
"Untuk apa kau memberi pengemis itu uang?
Bisa saja ia tengah berpura-pura saja."

Aku :
"Untuk membeli rasa syukurku"




Sunday, January 20, 2013

IBADAHNYA PARA BUDAK









"Apa kau pikir beribadah adalah sebuah pekerjaan?
Yang setelahnya, kau terus berharap 'gaji' dari-Nya?"









MERALAT DESCARTES











"Percayai itu, maka itu ada"











Sunday, January 13, 2013

GUSUR




Dalam beberapa hari belakangan ini, saya sedang menyengajakan pulang berjalan kaki lewat gerbang belakang kampus. Ada hal yang cukup mengganggu saya di sana. Penggusuran PKL liar di sekitar jalan Dayang Sumbi. Warung makan, kios, tempat foto kopi dan seterusnya. Dramatis. Lalu fakta itu muncul kembali, sebuah keputusan hampir tak pernah bisa memuaskan kedua belah pihak. Maka, benturan-benturan itu menjadi tak bisa dihindarkan. Dan notasi-notasi itu pun mulai dinyanyikan. “Kami juga butuh makan Pak” , “Maaf, Kami hanya menjalankan tugas”. 

Saya berusaha netral dan tidak sedang berusaha mengkritik penggusuran, atau juga sedang berusaha menyalahkan keberadaan bangunan-bangunan itu. Karena seperti biasa, saya tidak pernah ingin menjebak sebuah pembicaraan pada persoalan  mana yang benar dan mana yang salah saja. 

Dan pemetaannya seperti ini. Bangunan liar berdiri dengan menyalahi aturan dan satpol PP datang untuk menerapkan kembali aturan. Berhenti pada premis-premis ini, maka tidak ada yang salah dengan penggusuran manapun. Relokasi? Atau nasib para pedagang? Soal ini, otoritas pemerintah dan kampus cap gajah duduk lebih memilih saling lempar. Hasilnya? Ketidakjelasan post produksi. Barangkali pemerintah terlalu bosan menangani orang-orang ini. Sedang “Si Gajah” terlanjur duduk nyaman, untuk kemudian memilih “Di luar tempat gue, bukan urusan gue”. Satu celah ini yang selanjutnya perlu diperhatikan pertama.

 “Ngapain sih masih dibela? Udah tau mereka itu salah”. Cukup mengejutkan bahwa seseorang masih saja menyuarakan kalimat menjijikkan itu. Sebagai analogi. Apa yang akan dilakukan seandainya kita menemukan seseorang tengah terluka parah dan tergeletak di tengah jalan akibat tertabrak mobil setelah ia menyebrang jalan dengan aturan yang salah? Apakah lantas kita akan mendekatinya dan berkata “Lu sih nyebrangnya salah”? Atau mungkin membiarkannya saja karena yang ditabrak adalah pihak yang dianggap salah? Menurut saya sih tidak begitu. Kecuali jika kita ini goblok. Ini soal menjadi manusia. Soal merasakan. Bukan cuma soal berpikir logika mana yang benar dan mana yang salah. Ini soal bagaimana sebaiknya. Hukum dan aturan cuma teori. Ia tak lebih dari sebuah panduan saja. 

Lalu apakah penggusuran ini ataupun penggusuran-penggusuran lainnya adil? Buat saya sih semua ini belum adil, selama penggusuran itu hanya terjadi pada pedagang kecil dan bangunan-bangunan kumuh saja. Karena buktinya, selalu saja pemerintah tidak berkutik menangani bangunan-bangunan mewah yang menyalahi aturan penataan kota. Hasilnya, apartemen itu masih berdiri dengan melebihi aturan ketinggian bangunan kota bandung  dan lahan hutan kota siliwangi itu masih terus dilahap pembangunan hotel itu. Barangkali untuk sebuah kegoblokan, uang memang berbicara terlalu banyak.

Saya cukup menyesalkan tidak berbuat apa-apa hingga hari ini. Setidaknya pada pemilik warung kopi yang dulu sering saya kunjungi itu. Tapi cukup melegakan juga. Karena sepanjang saya melewati tempat itu, ada saja orang-orang yang entah mengatasnamakan himpunan, mahasiswa atau bukan, yang masih mendampingi para pedagang itu. Lalu saya hanya berjalan melewatinya saja. Tidak apa. Biar ini jadi hutang sosial saya. Suatu saat akan saya lunasi.




sumber foto : kabarkampus.com (LFM ITB)
editing : kontemplasi diagonal