Friday, February 28, 2014

PAGI DI HARI SABTU


Aku baru saja menuntaskan sebuah pembelian di warung klontong itu saat dua sosok manusia ini melintas melewatiku. Aku berada di belakang mereka setelahnya, berjalan menuju arah yang sama. Gerbang kampus. Tapi kendati sesekali jalan mereka harus terhenti sebentar untuk memunguti beberapa benda di tengahnya, entah bagaimana, saat itu aku merasa segan untuk pergi mendahului mereka. Aku lebih memilih untuk melambatkan langkahku agar aku tetap berada di belakang mereka. Entah barangkali seperti pada Ali yang pernah menghormati seorang kakek tua Yahudi dengan tidak berjalan mendahuluinya atau apa, saat itu pun aku merasa aku ingin menghormati mereka. Ya mereka. Seorang bapak pemulung bersama dengan anaknya yang hitam kurus di Sabtu pagi waktu itu. Sebuah tas violet usangnya dan baju spidermannya itu.

***
Tiba-tiba saja saya teringat sesuatu bahwa pernah di sebuah warung makan di sekitaran kampus, seorang bocah datang menghampiri saya dan kawan saya. Ia seorang pengamen. Bernyanyi setengah lagu; menyudahinya lalu mulai menengadahkan tangannya mendekat. Di tengah itu ia terus bergumam“A kasihan a, saya belum makan a, ibu saya sakit di rumah”. Mendengarnya saya segera merogoh saku dan memberikan sejumlah uang. Tidak banyak. Tapi cukup untuk membuat kawan saya sedikit beragumen. “Lu harusnya jangan kasih van, itu sama aja kayak lu ngajarin dia untuk minta-minta terus. Lagian biasanya juga mereka tuh sebenernya pura-pura doang”. Saya terdiam. Lalu tersenyum untuknya, “Praduga tak bersalah” kataku. Persis seperti apa yang kadang diberikan hukum kita pada koruptor-koruptor yang tiba-tiba sakit saat hukumannya sudah dijatuhkan. Sebuah simpati. Keibaan. 

Ada beberapa alasan sebetulnya mengapa saya masih saja sesekali memberikan uang kepada pengemis atau bocah-bocah pengamen itu. Hal pertama adalah bahwa ketika kawan saya berpikir dengan memberikan uang kepada mereka berarti kita mengajarkan mereka untuk terus meminta-meminta, saya melihat kemungkinan yang lain bahwa ketika kita memberikan uang, mereka juga mungkin akan belajar tentang memberi. Seperti koin. Ia memiliki dua mata. Definisi “diminta” di satu sisinya, dan definisi “diberi” di sisi lainnya. Ketika mereka melihat hanya kepada definisi yang pertama, benar mereka mungkin hanya akan belajar soal meminta saja. Tapi bagaimana jika mereka pun rupanya melihat sisi yang satunya lagi; tiba pada pengertian bahwa berkat diberi seseorang; ia selalu selamat dari pukulan bertubi-tubi sang ayah; ia selalu dapat mengisi perutnya;  dan pada akhirnya ia mungkin akan tumbuh menjadi orang yang kelak sangat dermawan. Dan saya tidak pernah membutakan diri dari kemungkinan itu. 

Hal berikutnya adalah ketika kawan saya berpikir bahwa bocah-bocah pengemis itu hanya pura-pura, saya justru kebingungan mencari tau apa yang sebetulnya tidak pura-pura di dunia ini. Bukankah segalanya sekarang konstruktif, konspirasi, politik kepentingan, dan kita juga telah sama-sama tahu bahwa itu sering terjadi di sini, di antara hukum, politik, ekonomi kita. Lalu tunggu juga hingga kalian mendengarkan Jung bercerita tentang teori personanya, sebuah definisi topeng yang dimiliki oleh setiap psikis manusia. Dan jadilah ini sebuah kejutan. Bahwa kepura-puraan, pencitraan, segala hal yang kita jadikan topeng, rupanya adalah bagian dari kemanusiaan kita. 

Di sisi lain, sama halnya dengan perusahaan rokok yang menggunakan perempuan-perempuan SPG seksinya untuk menjaring konsumen; para pengemis, dengan segala kekumuhan dan kemampuan teatrikalnya, juga adalah para penjual. Produknya? Rasa syukur. Sama sahnya ketika anda harus membayar “rasa puas” setelah bermain game. Jadi suatu saat ketika seorang pengemis – bocah ataupun orang tua – yang secara teatrikal dan artistiknya berhasil memberikan saya rasa syukur kepada saya, maka bukankah tidak ada salahnya juga jika saya kemudian membayar upah untuk usaha tersebut. 

Tapi entahlah, pada akhirnya, atas segala yang kita pikirkan tentangnya, kita tidak pernah bisa menjudge kebenaran apa-apa tentang mereka, sesuatu yang belum pernah dibuktikan, memonopoli definisi tentang mereka tanpa pernah ada usaha untuk mendalami mereka. Kita tidak tahu, apakah bocah-bocah yang mengatakan bahwa mereka memerlukan uang untuk membeli buku sekolah, mengisi perut yang belum terisi sejak dua hari lalu, membeli obat untuk ibu yang sakit atau apapun adalah benar atau tidak. Relativitas etis itu, memaksa kita untuk berlabuh pada prinsip kepercayaan. Bukan rasio, bukan rasa, kepercayaan menurut saya adalah hal yang berbeda. ­

***
Tiba-tiba bayanganku pecah. Aku telah berada di mulut gerbang, berdiam sebentar dan menyaksikan dua sosok itu menjauh melanjutkan. Tak ada yang terlintas. Karena membayangkan kemungkinan-kemungkinan tentang mereka terlalu menyakitkan buatku. Aku melangkah masuk. Tapi masih berpikir tentang kalimat yang malu untuk aku ucapkan langsung kepada mereka.

“Aku bersama kalian”


Thursday, February 27, 2014

DIALOG IMAJINER : PEMUDA RABUN DAN SETANGKAI BUNGA



EXT. TAMAN BUNGA, DAY
Nampak sebuah bunga yang sangat indah, berdiri tegak di hadapan tiga orang pemuda. Dua dari mereka sepakat bahwa bunga tersebut sangatlah sempurna. Namun, seorang dari mereka yang rupanya memiliki penglihatan yang tidak baik, keheranan.
PEMUDA RABUN :
“Dasar bodoh, apa indahnya bunga itu? Warnanya sangat kusam, bentuknya aneh. Ini adalah bunga yang paling buruk yang pernah aku lihat!”
***
Beberapa dari kita mungkin tidak pernah sadar. Bahwa kadang sebuah keburukan tidaklah terletak pada benda yang kita lihat. Tapi terletak pada mata kita. Cara pandang kita.