Sunday, January 26, 2014

DIALOG IMAJINER : SANG PEMIKIR

EXT. TAMAN, DAY
Aku : “Kau tampak sangat serius sekali hari ini kawan. Ada apa?”
Dia  : “Aku sedang berpikir.”
Aku : “Berpikir?”
Dia : “Ya, aku sedang berpikir, apakah udara itu benar-benar ada atau tidak?”

 ***
Bagaimana mungkin bisa terjadi? Meragukan udara padahal sedari tadi ia terus bernafas dengannya? Meragukan keberadaan angin padahal sejak tadi rambutnya menari-nari kecil dikibasi olehnya? Bukankah itu adalah sebuah kekonyolan?

Dan mungkin akan sama konyolnya saat kita meragukan tentang Tuhan. Mempertanyakan keberadaan-Nya, sedangkan telah sejak lama kita hidup atas-Nya.

Rasakan. Jangan berpikir.
Dan mungkin kau akan tiba pada ungkapan yang pernah diucapkan oleh C.G Jung,
“I don’t think. I know He exist”      

***

Tuesday, January 21, 2014

DIALOG IMAJINER : ALTRUISM


***
Anak    :“Apa tujuan dari hidupku ayah?”
Ayah    :“Untuk membantu orang lain”
Anak    :“Lalu tujuan hidup dari orang lain yang aku bantu?”
Ayah    :“Untuk memberimu tujuan hidup”

***


Tuesday, January 14, 2014

BELAKANGAN INI DI RUANG TA

|Beberapa hari belakangan ini, ruang Tugas Akhir nampak menjadi hal yang cukup menarik bagi saya. Ia tiba-tiba saja berubah menjadi ruang tempat pembicaraan tentang agama dan Tuhan tidak pernah hilang. Kadang ia terdengar sangat sekuler, dan kadang juga menjadi sangat mistis; kadang ia menjadi sebuah perdebatan tajam dan kadang juga ia berupa curhatan kecil antar kita.
Dan mungkin semua itu memang berawal dari ini, buku-buku filsafat dan teologi yang belakangan ini saya sengajakan bawa ke kampus. Filsafat moral, filsafat ilmu, filsafat mistis, kosmologi Islam, Ibnu Arabi, Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari atau juga sufisme-sufisme lainnya. Semua itu saya bawa untuk keperluan Tugas Akhir yang kebetulan memang tengah saya dalami kembali untuknya.
Dan entah apakah karena manusia-manusia ini memang ditakdirkan untuk senang berbasa-basi atau mungkin juga karena persoalan Tuhan dan agama memang selalu menjadi bagian dari tanda tanya pemikiran yang sangat menarik, yang membuat hampir setiap kawan yang memasuki ruang TA dan menemukan tumpukan buku-buku saya akan memulai pembicaraan dengan, “ini buku lu?”, “buat apaan?”, “buset, berat banget dah bacaannya?”, “lu baca sufistik Islam juga ya?”; dan berikutnya setelah saya menjawab “buat bikin film”, “konsep tugas akhir”, tidak ada yang menyadari bahwa tiba-tiba saja kami telah berada dalam perbincangan intens soal Tuhan dan agama. Dan sesaat setelah perbincangan itu dimulai, ruang Tugas Akhir seperti telah resmi berubah menjadi ruang konseling TA. Tuhan dan Agama. Lengkap dengan antrian di ujung pintu. Tertib secara bergantian. Senior saya dan junior saya; yang Islam dan yang Kristen; yang bertuhan dan yang masih mencari-Nya; keluarga yang straight dan keluarga yang liberal lantaran kedua orang tuanya memang berbeda agama; yang terang-terangan membuka perbincangan dan yang terlebih dulu berdalih meminta lagu-lagu Bon Iver serta lagu-lagu folks lain yang sering diputar dari ruang TA.  
“Sejarah pertikaian agama adalah sejarah politis” kataku. Ia muncul saat salah satu darinya mulai merasa harus menguasai satu yang lainnya. Persoalan kekuasaan, fanatisme, berebut pengaruh. Bahkan friksi terbesar dalam sejarah Islam – Sunni dan Syiah – sepanjang sepengetahuan saya dipelopori atas dasar perebutan kekhalifahan pasca kematian Muhammad saw. Kasus lain, penentangan Iran terhadap Israel pun tidak bisa dengan serta merta diartikan sebagai bentuk kebencian Islam terhadap agama Yahudi. Zionisme bukanlah gerakan spiritual ataupun agama. Ia adalah bentuk penjajahan, dan Iran menentang penjajahan itu. Selalu seperti itu, “Pertikaian antar agama selalu didasari oleh motif-motif politik yang bersembunyi di balik bendera agama. Itulah titik permasalahannya, politisasi! Bukan agamanya!”.
Lupakan dimensi itu, lalu kita akan berhadapan dengan agama dan Tuhan dalam makna spiritualitasnya. Bahwa Eksistensi Tuhan adalah The Ultimate Reason, dan ajaran agama adalah hukum dan moralitas tertinggi. Ia adalah postulat-postulat dalam kajian moralitas yang memberi tawaran pada manusia agar tidak hanyut dalam kontemplasi nihil yang terus menerus. Sesuatu yang oleh Kant disebut dengan corrollarium (kesimpulan) budi praktis. Ia yang akan mengisi kekosongan makna saat manusia mulai bertanya tentang asal, tujuan, dan persoalan-persoalan esensial lainnya seputar penciptaan. Penolakan terhadap postulat-postulat itu, memungkinkan manusia berada dalam ketidakpastiannya, ketidaktenangannya, dan pada titik ekstrimnya dapat memunculkan kegilaan dan motivasi bunuh diri. Seperti saya pada waktu-waktu itu mungkin, pertengahan SMA. Culture shock dan tiba-tiba saja saya berubah menjadi seorang nihilis; Marxis, seseorang yang tak mempercayai konsepsi metafisik apapun. Stoisis, anti kemapanan, seseorang yang dapat dengan lantang berteriak “Persetan dengan ajaran Aristippus!!”, “Hedonis-hedonis anjing!!”. Di saat-saat itu, saya tidak mampu menemukan makna hidup. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan esensial tentangnya. Dan berikutnya kegelisahan itu sempat memunculkan motivasi-motivasi bunuh diri dalam pikiran saya, hingga kemudian, penerimaan terhadap konsepsi Tuhan datang menyelamatkan.
Atas pembicaraan tentang kebenaran dan sikap terhadap keterbedaan yang muncul diantara kami, saya lebih suka menganalogikan agama dengan makanan. Saat saya merasa bahwa nasi goreng adalah makanan ternikmat di dunia, saya tidak bisa memaksakan kawan saya yang tidak suka nasi goreng dan lebih suka mie instant untuk mengatakan bahwa nasi goreng adalah makanan terenak. Kenikmatan, spiritualitas adalah soal rasa, soal selera, soal kepercayaan, soal hati kita. Ia kadang tidak bisa disematkan pada persoalan mana yang lebih benar atau mana yang lebih “bergizi”. Toh pun seandainya memang diperdebatkan, bukankah kebenaran tunggal hanya milik Tuhan? Dan sekalipun Tuhan yang berbicara, bukankah agama pada akhirnya hanyalah berupa tafsir-tafsir manusia, makhluk-makhluk yang hanya mampu meraba-raba dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan saja? Dan seandainya seperti itu, bukankah fanatisme sebagai bentuk klaim paksa terhadap kebenaran menjadi satu tindakan penghinaan terhadap Tuhan Sang Pemilik Kebenaran? Jadi sekarang siapa yang harus disebut kafir?
Keyakinan adalah sesuatu yang abstrak. Ia erat kaitannya dengan pengalaman intrinsik. Sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh masing-masing dari kita saja. Saya mempercayai bahwa cara ibadah yang berbeda tidaklah berarti bahwa diantara kita ada yang benar dan ada yang salah. Seperti halnya ketika saya tidak bisa begitu saja mengklaim bahwa jalur yang ditempuh kawan saya menuju Cirebon adalah salah hanya karena saya berangkat dari Bandung dan kawan saya berangkat dari Jakarta. Banyak jalan menuju Roma. Tuhan tetaplah Tuhan sekalipun disembah dengan berbagai cara. Sang Maha Besar yang tidak akan menjadi kecil sekalipun disebut dengan nama-nama yang berbeda.

***

Soal kebenarannya?
Entahlah. Saya hanya bisa
mempercayai kemungkinan-kemungkinan itu.



Monday, January 13, 2014

PEMUDA DAN PEREMPUAN DI PUNCAK GUNUNG 2

|Seorang pemuda yang tinggal di kaki gunung, dianggap aneh oleh seluruh desa lantaran telah jatuh cinta pada seorang gadis yang belum pernah sekalipun ia temui. Gadis tersebut tinggal di puncak gunung. Dan kabar-kabar yang dibawakan orang hulu tentangnya lah yang telah membuatnya tergila-gila pada gadis tersebut. “Gadis itu bernama Dewi”,“Ia cantik dan anggun”,“Ia selalu mengenakan selendang berwarna putih”.     
Suatu hari, saat pemuda tersebut sedang berada di pinggir sungai, sebuah selendang berwarna putih, hanyut melintas di depannya. Pemuda tersebut mengambilnya, mengamatinya sebentar dan segera setelah itu ia berjingkrak gembira karena merasa yakin bahwa selendang yang ia temui tersebut adalah milik sang gadis puncak gunung. Ia berlari mengelilingi desa dan terus berteriak gembira, “Aku memilikinya!! Selendang putih milik gadis pujaanku!!”. Dan seluruh desa yang telah mengenalnya hanya tersenyum dan membiarkannya.
Di hari-hari berikutnya, pemuda tersebut kembali ke sungai itu dan kini ia menemukan sepatu yang terhanyut. Ia mengambilnya, “Ini sepatunya miliknya!” dan segera berlari pulang, menyimpan sepatu tersebut di dalam rumahnya. Dan begitulah seterusnya, hari-harinya ia lewati. Mengumpulkan semua benda yang terhanyut dari hulu sungai. Semua benda tanpa ada pengecualian; keranjang buah-buahan, kendi dan bahkan sampah serta benda-benda kotor yang telah rusak tetap ia punguti dengan penuh cinta dan ia kumpulkan dengan seluruh kegembiraan. “Ini miliknya, darinya, gadis pujaanku! Cintaku”. Sejak saat itu, seluruh desa menganggapnya gila.
***
| Karunia dan musibah; berapa banyak orang yang mampu berterimakasih di keduanya? Tetap bersyukur bukan hanya di saat ia mendapatkan sesuatu saja tapi juga di saat ia kehilangan sesuatu? Karena mungkin kita pun termasuk ke dalam bagian orang-orang yang hanya berbahagia di saat mendapat keuntungan saja? Marah di saat kita ditimpa musibah, dan dengan gegabah menjudge Tuhan tidak pernah adil?
Jadilah pemuda gila itu. Mencintai Tuhan tanpa harus perlu bertemu dengan-Nya. Meyakini keberadaan-Nya sekalipun ia hanya berupa “kabar” dari para “penduduk hulu”. Tergila-gila pada-Nya sekalipun seluruh desa telah menganggapmu gila karena-Nya.        
Karena hanya dengan kecintaan itu; hanya dengan menyadari bahwa segala yang kita dapat adalah dari-Nya,“Sang Pujaan” itu, kita bisa menerima segalanya, menyambut segalanya dengan kebahagiaan. Selendang putih itu, atau juga kumpulan sampah itu; sepatu itu, atau juga benda-benda usang itu; karunia berlimpahmu itu, atau juga hantaman-hantaman musibahmu itu.

Kesiapan kita untuk menghadapi apapun yang ada di hadapan kita. Sebuah ketenangan, sesuatu yang mungkin tidak dapat dimiliki oleh siapapun yang tidak mempercayai-Nya. Mereka yang barangkali akan lebih cepat memilih mati. Mereka yang telah kehilangan cinta. 

MANUSIA PALING BERBAHAYA


| Manusia yang paling berbahaya di dunia adalah manusia yang menganggap bahwa dunia tidak berbahaya bagi dirinya.


Tuesday, January 7, 2014

REKONSTRUKSI HIERARKI GENDER


***
Seandainya para lelaki merasa lebih baik
daripada perempuan dengan mengatakan bahwa
“Tuhan telah menciptakan Hawa dari seorang Adam,
 tanpa seorang perempuan”,

Ludahi wajah mereka dan katakan bahwa
“Tuhan pun telah menciptakan Isa Almasih dari seorang Maryam,
tanpa seorang lelaki”

***

Saturday, January 4, 2014

KEPAHITAN



Jangan pernah kau takut akan pahitnya kematian.
Karena pahitnya kematian, terletak pada ketakutanmu padanya.
                   
                                                                 Mir Damad | Teosof



PEMUDA DAN PEREMPUAN DI PUNCAK GUNUNG


| Di suatu desa di sebuah kaki gunung, hidup seorang pemuda yang dikenal sebagai orang yang sedikit gila karena mempercayai sebuah kabar yang menurut kebanyakan orang hanya isapan jempol belaka. Menurutnya, di puncak gunung itu, seorang perempuan yang sangat cantik tengah terkurung di dalam sebuah gua yang dijaga oleh seorang Buto raksasa.
Atas itu, setiap hari, waktu-waktunya ia gunakan hanya untuk terus berolah raga, menempa fisiknya, melatih ilmu bela dirinya sambil terus mengatakan bahwa “Aku akan menyelamatkan perempuan itu!”.  Seluruh desa yang tak satupun mempercayai kabar itu seringkali mengingatkan pemuda itu untuk berhenti dan mulai melanjutkan kembali kehidupannya. Tapi di setiap itu, pemuda tersebut tak pernah menggubris mereka. “Urus saja sendiri apa-apa yang kalian percayai”.
Ia terus berlatih dan berlatih. Terobsesi pada perempuan di puncak itu. Hingga tanpa disadari, rupanya hal tersebut telah menjadikannya seseorang yang paling kuat di seantero negeri itu.
***
| Apapun itu, - mimpi, agama, jalan, nilai, pemikiran atau bahkan Tuhan sekalipun – peganglah dengan erat. Saat mereka yang tengah skeptis padamu mengatakan bahwa “itu semua hanya kebohongan, kesalahan, hal yang tidak nyata! Berhentilah!!”  di saat itu, katakanlah pada mereka “Jangan pernah mengatakan bahwa kabar itu bohong seolah hal itu adalah sesuatu yang absolut! Tak satupun dari kalian yang pernah pergi ke puncak itu dan menemukan kenyataannya!” .
Katakanlah bahwa “Aku yang akan menyelamatkan dunia ini!”, “Menghentikan peperangan ini!”, “Menyentuh Pluto”, dan “Membawa pulang gemintang”; percayai itu, jalanmu, mimpimu, Tuhanmu; ia akan memberimu hal-hal yang lebih. Sebuah kekuatan, sebuah makna. Ia yang akan mendorongmu untuk terus bekerja, belajar, beribadah, berkorban, menjaga diri. Hingga suatu saat - sekalipun kabar itu adalah kebohongan, sekalipun kau tak sempat tiba di puncak mimpimu itu  – kau tetap telah menjadi seseorang yang lebih hebat dari siapapun. Seseorang yang layak untuk dipertaruhkan.
Kepercayaanmu akan satu hal itu, dan kemauanmu untuk menjalaninya itu, adalah hal yang jauh lebih baik dari pada pengingkaran mereka. Hal yang melampaui jauh dari mereka yang hidup biasa tanpa kepercayaan pada hal apapun. Pada sebuah mimpi.  
Tetaplah mempercayai.     

***

AMBIGUITAS


***
Sederhana saja,
Kaya tak berarti
harus menjadi mewah

***

TUHAN DI AWAL TAHUN

Dan di ujung pertemuannya dengan Tuhan di bukit Sinai,
Musa menanyakan tempat dimana ia bisa mencari-Nya.
Atas itu Tuhan menjawab,
“Carilah Aku di antara mereka yang tengah hancur hatinya.”

***
Malam pergantian tahun, saya dan seorang kawan saya berada di sebuah mini discotic di bilangan Dago. Sebuah tempat yang tidak pernah saya bayangkan bisa berada di tengahnya. Sebuah pesta, alkohol,  dubstep, erotik, manusia-manusia trance dan hal-hal ilusif lainnya, bertengger didalamnya, hedonisme. Seandainya saja jika bukan karena sedang membutuhkan uang, mungkin project video dokumentasi ini tidak akan pernah saya ambil, dan janji untuk ikut menerbangkan lampion bersama dengan teman-teman di malam tahun baru ini pun bisa saya tepati. Tapi apa boleh buat, sesuatu berkata lain.

Perlu saya akui bahwa dalam kondisi seperti itu, cukup sulit untuk menjadi seorang profesional tanpa sedikitpun menyentuh wilayah-wilayah emosional dan ideologis. Beberapa kali pikiran saya ditarik keluar dan dibanting lagi kedalam. Menyisakan sebuah kamera yang telah mengarah pada objek menarik tapi lupa untuk saya rekam; atau lensa yang merekam dengan tenang, tapi garis mata tak berhenti mengkerut dan kepala menggeleng kecil. Waktu-waktu itu, membuat saya terkadang lebih baik memilih untuk menepi sebentar dan membiarkan pikiran ikut menari ke tengahnya; “Siapa mereka?”, “Apa yang sedang mereka pikirkan?”, “Adakah sesuatu dari mereka yang bisa membuatku merasa bahwa mereka ini orang-orang hebat?”, “Sebuah nilai?”, “Intelijensi?”, “Moral?”, “Apa?”, “Mengapa?” dan “Aaarghh!!!” menikmati kemacetan di luar rupanya jauh lebih menenangkan.
***

Satu jam pertama di tahun yang baru telah berlalu, kontrak kerja selesai dan sejurus berikutnya saya tengah berada dalam perjalanan menuju kampus. Di sana, di rooftop galeri, teman-teman Pemburu Langit telah berkumpul sejak sore, memasang tenda dan membuat api unggun.

Tapi sebelum itu, di sebuah persimpangan, sesuatu menyita pikiran saya lagi. Seorang pemulung. Bersama seorang anaknya yang barangkali masih berusia 10 tahun memunguti sampah-sampah plastik di antara kerumunan kaki-kaki itu. Barangkali bukan hanya karena pikiran ketat saya tentang dunia yang baru saya singgahi tadi yang membuat makna sosok yang saya temui itu menjadi jauh lebih tinggi, tapi juga karena ia hadir di antara mereka yang tengah bersorak ria menyambut tahun baru. Ia hadir di tengah pikiran itu, di tengah manusia-manusia yang tengah berpesta, minuman-minuman seharga jutaan rupiah, ribuan kembang api yang terbakar dilangit malam itu, di tengah teriakan dan tawa, di antara suara terompet-terompet yang pecah disegala sudut kota; ia disana. Dengan wajah kelelahan yang nampaknya tak dipengaruhi sama sekali oleh kegembiraan malam itu, ia menjelajahi setiap sela, membungkuki mereka yang tengah menengadah ke atas, para tuan raja. Sedang si anak sesekali mencoba mencuri pemandangan, kembang api dan sebuah terompet yang sepertinya ingin sekali ia coba tiup.

***

Sangat berat. Saya kira itu adalah pergantian tahun terberat bagi saya. Dibuat meledak di beberapa jam terakhir di tahun sebelumnya, lalu diremukkan lagi di jam pertama di tahun berikutnya. Tapi entahlah, atas tegangan yang nampak sangat kejam buatku itu, persimpangan kelas serta atas “…mereka yang tengah hancur hatinya”  itu, saya hanya berharap bahwa saya benar-benar baru menemukan Ia disana. Di tempat Musa bisa menemukanNya.