Tuesday, May 29, 2012

GUMAMAN SANG PENGAGUM

Hanya seseorang bersama secarik kertasnya yang dibiarkan kosong disana.
Mendiamkan dirinya sejenak.
Supaya ia dapat menikmatinya.
Setiap detik pada laju waktu yang terlampau cepat.
Menuju sang gautama

Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan
Suara-suara kecil si menara mesjid mulai berhembusan
Pikirannya sesekali menyenandunginya
Mensponsori hal yang paling ia minati dalam hidupnya
Ia hanyut di dalamnya.

Lalu semesta sekali lagi tersenyum padanya
Maka ia tersenyum pada Tuhan
Bersama nyala desa yang tak lebih buruk dari gugusan bintang di langit.

Mungkin karena segalanya terlalu indah untuk dinikmati sendiri
Mungkin karena menyenangkan merasa tak sendirian
Atau mungkin karena mengasyikkan memiliki kawan untuk diajak berbagi
Maka itulah kerinduannya.
Pada seseorang yang lain.





Monday, May 21, 2012

ANTARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL


 "Kehidupan beserta segala pertanyaan tentangnya, sepertinya telah menjadikannya sebuah kotak hitam dengan banyak enkripsi yang satu kali hidup seorang manusia barangkali tidak akan pernah cukup untuk memecahkannya. Bahkan manusia mungkin harus menyelesaikan hidupnya terlebih dulu untuk kemudian dapat dengan benar-benar menyimpulkan hidupnya. Dan ketika ia tiba pada titik itu, sebuah kesimpulan ataupun jawaban mungkin sudah tidak akan berarti apa-apa lagi."



" Ia adalah sebuah misteri terjauh dan realitas terdekat sekaligus. Sebuah ruang sempit yang gelap dan hamparan tanah luas dengan cahaya matahari yang cukup sekaligus. Ia adalah sebuah konsentrasi terbesar pemikiran manusia dan sesuatu yang dapat diacuhkan begitu saja sekaligus. Barangkali memang begitulah hidup. "



" Terkesan sangat naif untuk kemudian membicarakan semua ini. Tapi begitulah saya. Bahwa atas segala kegelisahan saya tentangnya, saya tiba pada hipotesa bahwa kehidupan adalah tujuan dari kehidupan itu sendiri. Tidak menjawab banyak memang. Tapi maksud saya, perjalanan kehidupan manusia buat saya adalah sebuah perjalanan mencapai suatu definisi tentang kehidupan manusia itu sendiri."



"Berasumsi bahwa kehidupan adalah tentang menjadi kaya. Maka hidup hanyalah soal mencari uang, mencari emas, mencari harta yang kadang beberapa yang lain mengganti kata “mencari” menjadi kata “mencuri”.  Beberapa berasumsi bahwa kehidupan adalah tentang melangkah menuju Tuhan, maka hidupnya mungkin tidak akan banyak dihiasi ornamen-ornamen profan. Berasumsi bahwa kehidupan adalah sebuah ketidakberuntungan, maka hidup hanya akan tentang penyesalan. Berasumsi bahwa kehidupan adalah tidak menjadi apa-apa, maka hidup akan tentang kenihilan. Dan akan begitu seterusnya. "





 "Hidup terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa sedikit perlawanan terhadap konsep-konsep dogmatik tentangnya. Karena sebagian orang dengan saya termasuk didalamnya, menikmati cara berkehidupan seperti ini." 




"Lalu apa yang sebenarnya diharapkan oleh orang-orang seperti saya? Menihilkan segala konstruksi pemikiran yang sebelumnya telah terbangun lalu mempertanyakan kembali tentang kehidupan? Entahlah. Barangkali jawaban bukanlah tujuannya. "





"Karena seringkali saya kembali tiba pada pernyataan-pernyataan dengan tanda tanya diujungnya, pada persimpangan jalan dengan tak beratribut apa-apa. Atau pada dinding-dinding yang kerap hanya mampu menggaungkan setiap interupsi ketidaksepakatan yang saya lemparkan ke tengahnya."  




"Barangkali buat saya menggambar telah menjadi sebuah transkrip atas diri saya. Bahwa segala kegelisahan yang saya tuangkan keatasnya, telah menjadi suatu persinggahan tersendiri. Tak perlu sampai memahami “apa itu?”, hanya tuangkan saja. Biarkan ia tersimpan disitu. Supaya kemudian saya dapat memutuskan untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda ini. "






*Tulisan ini diambil dari tugas matakuliah saya

Tuesday, May 1, 2012

MAYDAY... MAYDAY... MAYDAY...




 “Serupa kesabaran terakhir para buruh di palang pintu pabrik
Serupa panen terakhir para petani penggarap
Serupa tengat miskin kota di ujung penggusuran
Serupa pilihan terakhir Pasifis di hadapan ancaman pasar
Serupa harapan mereka yang tak bisa lagi berharap
Serupa pilihan terakhir keluarga korban kekerasan negara
Serupa rahim setiap ibu yang melahirkan para kombatan yang 
menantang setiap tiran di titik nadir perhitungan”

Homicide – Tantang Tirani


sumber: cabiklunik.blogspot.com, editing : retorika-monolog
Hari ini aku memilih untuk duduk sedikit tenang. Kemudian menundukkan kepala.
Memperdengarkan kembali beberapa lagu Homicide. Lalu membuat tulisan ini.
Ya, dan aku terlalu jauh untuk menghadirkannya di ruang intensi ini.
Peristiwa Haymarket.
126 tahun sebelum hari ini.
Karena sepertinya aku masih tak terlalu tertarik melupakan hari ini. Cerita-cerita basi para penggerak negeri yang tak bosan diperdengarkan di telinga-telinga kami sejak lama. Tentang deretan mimpi yang dieksekusi mati. Atau juga tentang interupsi-interupsi yang dipotong birokrasi.
Dan tak berlebihan jika kami meneruskannya dengan menyanyikan nasionalisme ala otong koil.

       1 mei buatku adalah pembubuhan tanda tanya besar pada “kemanusiaan”. Penuntutan kesejahteraan dan keadilan. Yang jangan dengan dangkal kau terima sebagai kesamatinggian atau kesetaraan.
Ini mungkin hanya akan menjadi pengulangan. Terus mengulang karena sebelumnya masih tetap kau serupakan dengan rengekan anak-anak.
sumber : Pikiran Rakyat, editing: retorika-monolog
Tunggu!
Apa ada yang salah dengan rengekan anak-anak? Bukankah kau memang seorang ayah? Yang bersama ibu pertiwi mengasuh kami?
Ibu memang terkadang marah dengan perilaku kami. Tapi kami melakukannya karena kau tak memberi kami makan yang cukup, sedang kami telah melakukan semuanya. Membangun gedung-gedungmu, menumbuhkan padi di tanah-tanahmu, memberikanmu sumber devisa yang besar, mengayuhkan sepeda-sepeda kami untuk mengajari para penerusmu dan seterusnya.
Hey! aku tahu..
Kau melakukan ini karena kami memergoki kau berselingkuh dengan korupsi. Berpesta seks dengan statistika ekonomi pasar. Berjingkrak ria bersama hukum. Hingga memuntahkan anak-anak haram itu.
sumber : google, editing: retorika-monolog
Lalu kau biarkan kami mati di tanah orang, ditembaki peluru-peluru asing yang tertawa puas sambil berseru “bodohnya ayahmu”. Membiarkan setiap kami yang tergeletak lemas digerogoti kelaparan ditepian trotoar. Dikencingi anak-anak raja yang kemudian menginjak-injak setiap mimpi kami. Membiarkan anak-anak haram itu memerintah kami, memasakkan kami makanan berbumbukan arsenik untuk kami yang terlalu banyak bicara.
Dan kami sekarat.
         Lantas hanya bisa berdoa.
Supaya ibu pertiwi cepat pulang. Mengasihi kami.