Monday, October 10, 2016

TENGGELAMLAH

***

Seberapa jauh kau bisa mengingatnya; sekian lenting gravitasi yang kau abaikan tatkala kau tengah dalam petualangan sengit menujunya? Karena seandainya saja kau bisa menyisakan sebagianmu untuk sejenak menerima dan tenggelam dalam iramanya, ada milyaran perasaan yang pada gilirannya tengah kau suarkan ke sebuah dunia ketika ruang dan waktu tersaji dalam sekepal origami yang siap untuk kau lipat sesuka hati; ke sebuah dunia ketika yang lalu dan yang mendatang, terurai dalam senar gitar yang selalu kau lirihkan untuknya di tepian petang. Hingga berikutnya ketika kau kembali merebah di serambi pangkuannya lagi, tak ada satupun frasa yang perlu kau tuai lagi, karena perasaan itu telah lebih dulu tiba kepadanya sejak lama; sejak pertemuanmu di sekian inkarnasi sebelumnya, bahkan sejak cinta masih menunggal dalam substansi universal dan belum pernah termanifestasikan dalam gagasan apapun. Jadi mulailah untuk menerima dan tenggelam. Karena lentingan itu hanya bisa kau selami dengan jalan berserah.


***

Thursday, September 29, 2016

CUAP-CUAP MENYESATKAN

Sepanjang bulan September ini, saya kembali berkesempatan untuk mengisi dua workshop videography lagi. Di dua workshop tersebut, saya bikin pendekatan workshop yang sedikit berbeda, yaitu dengan menstimulus peserta untuk membuat video berdasarkan audio bernarasi yang sudah saya bikin sebelumnya. Walaupun sebenernya punch line narasi-narasi tersebut kebanyakan sifatnya adalah pengulangan dari tulisan saya di blog ini sebelumnya, tapi supaya bisa terdokumentasi dengan baik, maka saya rasa tidak ada salahnya saya memposting transkrip tersebut di sini. So, this is it...


PERANTAUAN SEMALAM

Malam ini, kutanggalkan segenap pongahku di lengkung bayanganmu

Di saat waktu tengah dalam tenggang paling tergesanya
Hingga tak satu detikpun berlalu tanpa sebuah doa terpanjat untukmu

Kita hanyalah sekumpulan laron dalam perantauan semalam mencari lentera
Dengan angin yang terus berkisah tentang perpisahan kita di sekian detik setelahnya

Tapi sekalipun harus dengan sayap yang luluh terbakar seperti ini
Tak satu luka pun yang pernah gagal terobati
Oleh kata yang paling tak terdustakan darimu, bahwa

“Suatu saat kita akan merindukan hari ini”

(KM-ITB, 8 September 2016)

***



SI PECANDU YANG BERGUMAM

Sesekali perasaan ini kembali terjatuh pada kerancuan yang sama
Ketika angin datang berkejaran, tanpa satupun arah yang lugas ditunjuknya
Persis seperti apa yang siratmu ujarkan padaku semalam di ujung terjagaku bahwa,

Serupa doa dan dosa yang tengah berebut kuasa
dalam hunusan pedang sebuah peperangan paling berdarah
Hidup terkadang terasa sangat jelas
Namun bisa menjadi sangat rumit di sekaligusnya

Sepertimu
Dalam ritus kosongku mencanduimu

Ketika untuk seorangmu,
memiliki ketiadaanmu pun,
adalah keindahan yang perlu dimenangkan juga.

(Kedai Teko Bandung, 18 September 2016)

***

Saturday, July 2, 2016

SALAH POTONG

Tulisan tentang kerja editing sebetulnya sudah lama sekali ingin saya buat, namun atas segala keterbatasan saya - dan terlebih bahwa ketidakpuasan pada video campaign yang memuat diri saya baru-baru ini - akhirnya keinginan itu baru merasa terdesak untuk dituangkan di belakangan ini. Saya ingin bercerita sedikit tentang video tersebut untuk mengawali. Yaa selain untuk semacam konfirmasi barangkali bisa sedikit menjadi contoh kasus kecil juga.

Jadi sekitar beberapa minggu lalu, saya dihubungi melalui teman saya untuk sebuah interview sebagai seorang videographer. Singkat cerita kami bertemu dan interview itu rampung. Tapi ternyata di akhir, pihak penginterview memberitahu bahwa interview itu hanyalah sekedar social experiment untuk semacam campaign. Saya mengizinkan walaupun pada dasarnya sedikit mengecewakan mengingat selain untuk mengalokasikan waktu interview itu saja saya harus memundurkan deadline kerjaan, juga di hari interview itu, saya pun masih harus menunggu mereka hampir 1 jam keterlambatannya. Tapi bagian itu bisa saya terima karena mau bagaimanapun itu adalah bagian dari konsekuensi saya mengingat saya tetap memilih mengiyakan untuk diinterview walaupun sebelumnya saya sudah sedikit curiga melihat segala ketidaklengkapan aspek interview (berdasarkan yang saya pahami) mereka. Tapi untuk bagian lain berikutnya, sedikit mengusik saya.

Singkat cerita, secara tiba-tiba video itu sudah terunggah. Lewat repost-an teman-teman yang men-tag, akhirnya saya menontonnya. Hasilnya, di satu bagian agak mengecewakan. Bukan di soal 95% pembicaraan soal perjalanan dan proses berkarya saya yang lenyap begitu saja -yang bisa saya terima mengingat menampilkan proses berkarya narasumber bukan tujuan dari campaign tersebut – tapi soal pemotongan pembicaraan saya di tempat yang kurang tepat yang menjadi titik keberatan saya.

Jadi di satu bagian video, para narasumber ceritanya diberi pertanyaan tentang penghasilan, semuanya menjawab, walaupun dengan struktur penyampaian yang berbeda-beda, tapi dapat terlihat idenya adalah penghasilan; tiba pada giliran saya, “...ternyata itu ada sekitar A di rekening gua...”, tiba-tiba saya terlihat seolah sedang memamerkan jumlah uang di rekening saya. Saya tidak sedang mengelak bahwa itu bukan kata-kata saya, tapi saya sedang mengkonfirmasi bahwa pemotongan kalimat saya itu sama kasusnya seperti menampilkan kalimat “Saya mendorong anak kecil” dari pemotongan kalimat utuh “Saya mendorong anak kecil karena saya melihat ada mobil yang akan menabraknya”. Pemotongannya mendorong terjadinya penafsiran baru yang tidak sama dengan maksud dari kalimat aslinya. Dan hasilnya sesuai. Teman-teman saya berkomentar tepat seperti persepsi yang dibentuk oleh video itu tentang saya yang sedang memamerkan jumlah uang di rekening saya. Seorang Irvan Aulia, yang sejak lama paling tidak peduli soal uang dan paling tidak bisa membicarakannya, kini memamerkan jumlah uang di rekeningnya hahaha.

 Sekedar konfirmasi saja, pemotongan kalimat “... ternyata itu ada sekitar A di rekening gua...” adalah pemotongan dari jawaban yang kurang lebih sepanjang yang saya ingat kalimat utuhnya adalah

“Sebetulnya gw sendiri gak pernah ngitung penghasilan gw pastinya berapa. Masing-masing project beda-beda. Kadang di bulan yang ini dapet project gede, yang di bulan berikutnya agak sedikit. Tapi kalo ditanya soal penghasilan atau dikira-kira, jadi beberapa bulan yang lalu gw sempet dapet bayaran sebuah project secara cash. Gw setor ke bank dan mau gak mau transaksi gw yang kebetulan setaun itu gak pernah gw cetak, ke cetak juga di tabungan. Setelah gw cek ternyata itu ada sekitar A di rekening gua. Gw kaget ternyata ada transaksi sekitar A di rekening gw selama setahun yang memang gak pernah gw cek. Perputaran uang di rekening gw itu segitu. Gw sempet kaget akhirnya gw cek ke temen-temen yang biasa ngerjain project ama gw, gw list lagi project apa aja yang udah dikerjain dan ternyata hasilnya emang sekitaran segitu. Terus kalo dipotong kasar sama biaya produksi dan bayar orang, kurang lebih ada sekitaran B itu uang gw. Jadi yaa kira-kira sebulan penghasilan gw sekitaran C.”

Saya kira seharusnya murid SMP atau setidaknya SMA juga bisa mengkaji mana kesimpulan dari jawaban saya jika pertanyaannya adalah berapa penghasilanmu. Seandainya jika video itu ingin tetap mengambil kalimat “...ternyata itu ada sekitar A di rekening gua...”, etisnya seharusnya juga ia tidak menghilangkan gagasan “Perputaran” dan “selama setahun” agar konteksnya tidak berubah.

Saya tidak tahu dengan proses editing dengan narasumber yang lain, tapi untuk soal editing bagian saya, saya sudah mengajukan keberatan saya dan prosesnya masih berjalan hingga hari ini. Bukan saya menolak logika video social experiment yang selalu menempatkan objek pada kondisi hitam atau putih saja, dan agaknya terkesan berlebihan jika melihat konteks video yang cenderung sepele; tapi buat saya, praktik editing yang menempatkan sebuah statement, opini atau argumen pada kesimpulan yang tidak akurat atau pada bentuk terburuknya bahkan manipulatif, dalam konteks dan skala sekecil apapun saya kira tidak dapat diterima.

***

Kerja editing buat saya adalah kerja detektif. Ia erat dengan kemampuan dan intelijensi seseorang dalam menganalisa, menyusun dan menyimpulkan sebuah situasi. Pada konteks estetis seperti film atau video fiksi lainnya, proses penyimpulannya bersifat terbuka dan bebas. Bahkan pada proses kreatif tertentu, secara sah cerita atau pesan dapat direkonstruksi dan dimanipulasi ulang sedemikian rupa pada proses editing (kemampuan ini juga yang kemudian menempatkan editor pada predikat second director). Tapi pada konteks non fiksi seperti video dokumenter atau video social experiment seperti contoh kasus saya, kerja editing menjadi sangat erat dengan kerja jurnalistik karena posisinya yang menampilkan sebuah fakta atau kejadian nyata. Maka etika yang berlaku juga adalah etika jurnalistik dan prinsip kehati-hatian. Tapi permasalahannya, tidak semua videographer termasuk saya, mengerti tentang prinsip kerja dan etika jurnalistik secara utuh. Tidak semua editor sadar bahwa pemotongan kalimat, bahkan untuk satu kata pun, di titik yang tidak tepat, akan membentuk sebuah persepsi, opini atau argumen baru yang jauh berbeda dari sumber aslinya. Dalam wajah terburuknya, praktik ini biasa digunakan untuk menyerang, mendiskreditkan atau membunuh karakter sebuah pihak dengan tunggangan kepentingan tertentu secara sadar.   

Lalu dimana tanggung jawab moral kita sebagai videographer yang notabenenya cukup dekat dengan kemungkinan terjun ke dalam medium non fiksi? Yang mau tidak mau harus menjalankan peran kerja jurnalisme ini?

Saya pribadi memiliki beberapa poin sebagai kehati-hatian dalam menyikapi medium-medium non fiksi tersebut, yang ketimbang disebut sebagai etika, barangkali lebih tepat disebut sebagai trik. Diantaranya,

1. Sadar dengan segala keterbatasan, kemampuan dan ketidaktepatan kapasitas saya pribadi, kehati-hatian pertama yang saya pegang adalah saya menghindari project-project non fiksi skala besar seperti film dokumenter misalnya yang pertanggungjawaban moral dan peran kerja jurnalismenya pun jauh lebih besar.

2. Saya menghindari project dokumentasi yang mengharuskan adanya keterlibatan pihak atau sumber ketiga. Seandainya pun ada, pihak atau sumber ketiga itu harus berafiliasi dengan pihak pertama (klien). Sehingga pertanggungjawabannya hanya terjalin dalam satu jalur antara saya dengan pihak pertama. Hal ini jauh lebih sederhana ketimbang harus menghadapi 2 jalur pertanggungjawaban pada pihak ketiga yang terpisah dari pihak pertama.

3. Seandainya saya melakukan interview - seperti pada hadits sebagai penafsiran manusia yang harus diuji kebenarannya dengan alat kritik Alquran sebagai sumber asli - penarikan kesimpulan yang objektif dari opini pun harus diuji kepada sumber aslinya. Saya sendiri tidak jarang harus melewati 5 tahap revisi untuk menghasilkan kesimpulan yang ramping dan tepat berdasarkan sumber aslinya.

4. Sering membaca buku mungkin bisa jadi salah satu latihan kita dalam memahami sebuah pesan, mencari benang merah dan menarik kesimpulannya.


***