Friday, August 24, 2012

BAJU LEBARAN


INT. TOKO PAKAIAN, MALAM HARI

      Raut wajah senang itu mulai terlihat jelas pada wajah kecilnya, saat sandal bututnya mulai menapaki lantai toko pakaian itu. Akhirnya. Baju baru. Paling tidak itu yang selalu dijanjikan ayahnya sejak lama sekali.

Ayah
“Coba kamu lihat-lihat dulu nak”

    Sang anak mulai melakukan pencariannya. Dengan sangat seksama. Teliti. Karena mungkin hanya ini kesempatannya.
Ayah
“Bagaimana nak?”

Anak
“Aku suka yang ini ayah”



     Dan atas itu, hatinya diselimuti dengan kegembiraan yang sangat besar. Ini mungkin benar-benar berbeda. Baju barunya ia peroleh langsung dari toko pakaian. Bukan dari kegiatan-kegiatan baksos pada waktu biasanya. 

Ayah
“Baiklah nak, sekarang kamu tunggu di luar saja ya.
Biar ayah yang urus ini”

(Si anak lalu pergi ke luar dan berdiri tepat di depan pintu masuk toko itu) 


    Ia benar-benar tak menyangka tentang ini. Karena yang ia ingat, ayahnya hanyalah seorang buruh bangunan berpenghasilan sangat rendah. Dan ibunya hanyalah seorang buruh cuci. Yang bahkan untuk makan sehari-hari pun, penghasilan keduanya tak pernah mencukupi.

     Tapi tiba-tiba pikirannya dibuyarkan oleh sebuah teriakan dari dalam toko


Karyawan toko
“Maling!! Maling!! Ada maling!!
Tangkap maling itu”


   Teriakan itu sontak membuat suasana dalam toko menjadi kacau. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan membawa beberapa potong pakaian berlari dengan sangat kencang dari dalam toko itu. Beberapa orang berusaha mengejarnya.
Itu pencurinya. ...

Oh bukan....

Itu ayahnya...





*diadaptasi dari cerita adik perempuan saya yang pernah bekerja di toko pakaian di pusat kota

Saturday, August 18, 2012

IDUL FITRI









"Seorang mana yang layak
untuk merayakan hari kemenangan ini
sedang ia sama sekali tidak
mengetahui apa yang telah
ia menangkan?"







Monday, August 6, 2012

KUBURANNYA MANUSIA


“Perahu kecil itu terombang-ambing diterpa ombak di bibir Pantai Olar Para, Bangladesh, pada tengah malam. Tidak terlihat ada penumpang di atasnya. Namun, saat warga desa pesisir melongok ke dalam perahu, mereka terperanjat. Seorang bayi tergolek dalam kondisi sangat lemah. Menangis pun dia sudah tidak mampu lagi.
Bayi yang baru berumur beberapa pekan itu merupakan salah satu dari ribuan pengungsi etnik Rohingya yang mencoba masuk Bangladesh untuk menyelamatkan  diri dari kerusuhan sektarian di Negara Bagian Arakan atau Rohingya, bagian barat Myanmar…”
Media Indonesia  
Selasa, 19 Juni 2012

Apa yang lebih menggetarkan daripada ini? Dari potongan cerita kecil ini. Atas sekian banyaknya catatan krisis kemanusiaan yang tengah dialami oleh etnik Rohingya di Myanmar ini. Cukup sulit untuk melacak informasi bagaimana peristiwa ini bisa luput dari perhatian dunia untuk waktu yang sangat lama. Ataupun untuk melacak informasi mengenai kepentingan-kepentingan yang menyertai di belakangnya. Konspirasi? Agama? Politik? Ah, Saya tidak pernah mau blog ini dikotori oleh tulisan-tulisan politik apapun. Kita manusia. Lantas saya hanya ingin menanyakannya sebagai manusia. Lagipula “manusia” adalah tanda tanya yang paling tepat untuk diajukan pada persidangan ini. Pada hati kecil kita. Seperti apa yang dituliskan pada tagline blog kawan tua saya. “hati kecilmu adalah jalan terbesarmu.”
   Diskriminasi. Penistaan. Pembatasan. Penghilangan kewarganegaraan. Pencabutan Hak Asasi Manusia. Menetapkan etnik Rohingya sebagai etnik paling teraniaya di dunia. Lebih mengejutkan karena perlakuan ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Telah mengakar pada titik-titik sejarah Myanmar. Bahwa perlakuan ini dianggap sah lantaran Myanmar menganggap Rohingya tidak memiliki bukti sejarah mengenai status bahwa mereka telah menetap di Myanmar sebelum tahun 1823. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada etnik Rohingya 2 bulan terakhir ini? pembakaran rumah. Pemerkosaan. Pembunuhan massal. Pembersihan etnik? Mungkin. Jumlah korban terlampau banyak untuk persoalan dendam atas pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 orang pria Rohingya pada seorang perempuan Buddha. Lalu dimana Negara Myanmar? Ah sialan, ternyata mereka ikut menembaki orang-orang Rohingya. Memperkosanya. Membunuhnya. Maka dengan serta merta Negara ini berubah menjadi kuburannya manusia.
Mari sedikit berpikir. Apalagi yang lebih menjijikkan dari kenyataan ini? Agama. Politik. Etnik. Dan segala label lainnya. Bisa menjadikan manusia lebih anjing daripada anjing! Bukan soal Myanmar-nya. Karena ini telah terjadi di dunia manapun. Saat sebuah otoritas tidak mampu membedakan diferensiasi dan diskriminasi. Kau tahu ini tentang apa? Konstruksi kebenaran. Taruhlah 1 orang yang waras di dalam ruangan bersama 99 orang gila lainnya. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya. 99 orang gila tersebut mengganggap justru 1 orang waras itulah yang tengah gila. Sedang 99 orang gila lainnya dianggap waras. Yang berbeda. Yang minoritas. Adalah yang salah. Lalu bukankah saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kebenaran bukanlah nilai absolut?
Ya dunia memang kacau. saya hanya bisa berharap pada tagline itu. “Hati kecilmu adalah jalan terbesarmu”. Karena saya masih percaya. Seberbeda apapun kita, saat kita sampai pada hati ini, kita akan sampai pada titik manusia yang sama. Maka peristiwa kemanusiaan seperti Rohingya seharusnya tidak pernah ada. Saya hanya percaya pada itu. Suatu saat.







Sumber foto : http://tribune.com.pk
http://asiancorrespondent.com
http://asiancorrespondent.com
editing: retorika-monolog


Saturday, August 4, 2012

ELEGI UNTUK SEORANG KAWAN




“empat agustus setengah tiga pagi setahun yang lalu…”

Untuk selanjutnya saya akan terus mengingat ini. Bersama dengan narasi pendeknya yang telah berkali-kali mendesak saya untuk membulatkan beberapa umpatan kotor. Atas ingatan itu. Pada sepasang mata yang masih terkantuk itu. Hidangan sahur itu. Dan atas kabar itu. Pengunduran diri seorang kawan. Ya. Dia kawan saya.
Agaknya saya tidak terlalu tertarik untuk membicarakan bagaimana ia harus melakukan itu. Anggap saja itu adalah sebuah langkah sah secara administratif yang harus diterapkan sebuah lembaga pendidikan untuk menindak mahasiswa-mahasiswa yang menolak mengikuti hirarki materi perkuliahan. Dan agaknya pun saya terlalu emosional jika menyebut itu sebagai omong kosong sistem pendidikan.

Tapi apapun itu, kejadian ini telah menjadi satu titik tekan lagi dalam perjalanan hidup saya. Ketika saya harus menerima realitanya. Kehilangan seorang kawan dekat disaat saya tengah melakukan banyak hal untuk para penghuni gedung ini. Melakukan hal-hal goblok yang tidak ada pentingnya sama sekali. Benar-benar goblok. Saat saya masih percaya sebuah mimpi bisa ditempuh lewat jalur birokrasi dan sebuah diplomasi.
Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana saya bisa kecolongan hal penting ini? Bukankah ia adalah seorang kawan dekat? Ataukah saya yang terlanjur goblok hingga saya tidak tahu apa arti dari kata dekat? Atau mungkinkah saya benar-benar tidak mengingat itu? Banyaknya cangkir kopi yang telah kami habiskan bersama?  Di sebuah warung kecil di belakang kampus itu? Tempat kami banyak membicarakan soal mimpi bersama. Saat saya tahu betul ia akan menjadi seorang seniman saat  pertama kali ia menyebutkan kalimat itu. Saat saya tahu betul saya tengah bertemu dengan seorang manusia berbakat.
Lalu saya kehilangannya?

Maka setelahnya saya mendapati kehancuran itu. Hal besar yang telah lama saya bangun. Sebuah kepercayaan. Terhadap banyak hal. Terhadap banyak orang. Angkatan. Himpunan. Seni. Dan semuanya. Bahwa atas kejadian itu saya akan dengan sangat mudah meludahi hal-hal itu. Ataupun mengacungkan jari tengah ke arahnya. Inilah titiknya. Saat saya benar-benar telah kehilangan ikatan emosi dengan apa-apa yang sering disebut sebagai romantisme mahasiswa. Saat saya benar-benar menyesali banyak hal.

Lalu saya masih ingat dengan apa yang kau katakan,
"Semuanya akan baik-baik saja van"

Ya. Semuanya memang baik-baik saja.
Tapi rupanya saya yang tidak baik-baik saja ver.





"i'm naive but fierce"