“empat
agustus setengah tiga pagi setahun yang lalu…”
Untuk
selanjutnya saya akan terus mengingat ini. Bersama dengan narasi pendeknya yang
telah berkali-kali mendesak saya untuk membulatkan beberapa umpatan kotor. Atas ingatan
itu. Pada sepasang mata yang masih terkantuk itu. Hidangan sahur itu. Dan atas
kabar itu. Pengunduran diri seorang kawan. Ya. Dia kawan saya.
Agaknya saya tidak terlalu tertarik untuk membicarakan bagaimana ia harus melakukan itu. Anggap saja itu adalah sebuah langkah sah secara administratif yang harus diterapkan sebuah lembaga pendidikan untuk menindak mahasiswa-mahasiswa yang menolak mengikuti hirarki materi perkuliahan. Dan agaknya pun saya terlalu emosional jika menyebut itu sebagai omong kosong sistem pendidikan.
Tapi
apapun itu, kejadian ini telah menjadi satu titik tekan lagi dalam perjalanan
hidup saya. Ketika saya harus menerima realitanya. Kehilangan seorang kawan
dekat disaat saya tengah melakukan banyak hal untuk para penghuni gedung
ini. Melakukan hal-hal goblok yang tidak ada pentingnya sama sekali.
Benar-benar goblok. Saat saya masih percaya sebuah mimpi bisa ditempuh lewat jalur birokrasi dan sebuah diplomasi.
Lalu
bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana saya bisa kecolongan hal penting ini? Bukankah ia adalah seorang kawan dekat? Ataukah saya yang terlanjur goblok hingga saya tidak tahu apa arti dari kata dekat? Atau mungkinkah saya benar-benar tidak mengingat itu? Banyaknya cangkir kopi yang telah kami habiskan
bersama? Di sebuah warung kecil
di belakang kampus itu? Tempat kami banyak membicarakan soal mimpi bersama.
Saat saya tahu betul ia akan menjadi seorang seniman saat pertama kali ia menyebutkan kalimat itu. Saat saya tahu betul saya tengah bertemu dengan seorang manusia berbakat.
Lalu saya kehilangannya?
Maka
setelahnya saya mendapati kehancuran itu. Hal besar yang telah lama saya bangun. Sebuah kepercayaan. Terhadap banyak hal.
Terhadap banyak orang. Angkatan. Himpunan. Seni. Dan semuanya. Bahwa atas
kejadian itu saya akan dengan sangat mudah meludahi hal-hal itu. Ataupun
mengacungkan jari tengah ke arahnya. Inilah titiknya. Saat saya benar-benar
telah kehilangan ikatan emosi dengan apa-apa yang sering disebut sebagai
romantisme mahasiswa. Saat saya benar-benar menyesali banyak hal.
Lalu saya masih ingat dengan apa yang kau katakan,
"Semuanya akan baik-baik saja van"
Ya.
Semuanya memang baik-baik saja.
Tapi
rupanya saya yang tidak baik-baik saja ver.
"i'm naive but fierce"
No comments:
Post a Comment