“Perahu kecil itu terombang-ambing diterpa
ombak di bibir Pantai Olar Para, Bangladesh, pada tengah malam. Tidak terlihat
ada penumpang di atasnya. Namun, saat warga desa pesisir melongok ke dalam
perahu, mereka terperanjat. Seorang bayi tergolek dalam kondisi sangat lemah. Menangis
pun dia sudah tidak mampu lagi.
Bayi yang baru berumur beberapa pekan itu
merupakan salah satu dari ribuan pengungsi etnik Rohingya yang mencoba masuk
Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari
kerusuhan sektarian di Negara Bagian Arakan atau Rohingya, bagian barat Myanmar…”
Media Indonesia
Selasa, 19 Juni 2012
Diskriminasi.
Penistaan. Pembatasan. Penghilangan kewarganegaraan. Pencabutan Hak Asasi
Manusia. Menetapkan etnik Rohingya sebagai etnik paling teraniaya di dunia. Lebih
mengejutkan karena perlakuan ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun.
Telah mengakar pada titik-titik sejarah Myanmar. Bahwa perlakuan ini dianggap
sah lantaran Myanmar menganggap Rohingya tidak memiliki bukti sejarah mengenai
status bahwa mereka telah menetap di Myanmar sebelum tahun 1823. Lalu apa yang
sebenarnya terjadi pada etnik Rohingya 2 bulan terakhir ini? pembakaran rumah. Pemerkosaan.
Pembunuhan massal. Pembersihan etnik? Mungkin. Jumlah korban terlampau banyak
untuk persoalan dendam atas pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 orang pria
Rohingya pada seorang perempuan Buddha. Lalu dimana Negara Myanmar? Ah sialan,
ternyata mereka ikut menembaki orang-orang Rohingya. Memperkosanya.
Membunuhnya. Maka dengan serta merta Negara ini berubah menjadi kuburannya
manusia.
Mari sedikit berpikir. Apalagi yang lebih
menjijikkan dari kenyataan ini? Agama. Politik. Etnik. Dan segala label
lainnya. Bisa menjadikan manusia lebih anjing daripada anjing! Bukan soal
Myanmar-nya. Karena ini telah terjadi di dunia manapun. Saat sebuah otoritas
tidak mampu membedakan diferensiasi dan diskriminasi. Kau tahu ini tentang apa?
Konstruksi kebenaran. Taruhlah 1 orang yang waras di dalam ruangan bersama 99
orang gila lainnya. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya. 99 orang gila
tersebut mengganggap justru 1 orang waras itulah yang tengah gila. Sedang 99
orang gila lainnya dianggap waras. Yang berbeda. Yang minoritas. Adalah yang
salah. Lalu bukankah saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kebenaran
bukanlah nilai absolut?
Ya dunia memang kacau. saya hanya bisa
berharap pada tagline itu. “Hati kecilmu adalah jalan terbesarmu”. Karena saya
masih percaya. Seberbeda apapun kita, saat kita sampai pada hati ini, kita akan
sampai pada titik manusia yang sama. Maka peristiwa kemanusiaan seperti
Rohingya seharusnya tidak pernah ada. Saya hanya percaya pada itu. Suatu saat.
Sumber foto : http://tribune.com.pk
http://asiancorrespondent.com
http://asiancorrespondent.com
editing: retorika-monolog
No comments:
Post a Comment