Monday, April 28, 2014

LAMPU KOTA YANG BERTANYA


Interview kecil oleh Ode Lampu Kota dan beberapa kawannya kepada saya via email. Teks yang dicetak tebal adalah pertanyaan dari Ode Lampu Kota sedangkan yang dicetak biasa adalah pernyataan-pernyataan saya. Untuk menikmati laman aslinya, silakan jelajahi tumblr menariknya di odelampukota.tumblr.com

Halo mas Irvan, apa kabar nih? 
                      Halo! Kabar baik 

Sejak kapan Anda jatuh cinta dengan dunia visual art?
Sejak kapan ya? Hm.. mungkin sejak gambar doraemon yang pernah saya bikin waktu saya duduk di kelas 1 SD dipuji di depan kelas oleh guru kali ya. Dari sana saya jadi bener2 tahu hal apa yang bisa membuat saya dipuji oleh orang lain sedangkan anak-anak yang lain tidak bisa.

Apa gambar yang pertama kali anda buat?
Kalo kumpulan garis random ngebentuk benang kusut yang saya buat waktu saya masih kecil banget itu kita masukin ke dalam pengertian gambar, berarti benang kusut itu jadi gambar pertama yang pernah saya buat. Selebihnya saya gak inget apa-apa lagi soalnya.

Menurut Anda, art itu apa?
Waduh, berat banget ini haha. Soalnya menurut saya sih sampai kapanpun, nemuin definisi yang pasti tentang seni (art) tetep bakal jadi pekerjaan yang sangat mustahil. Karena ketika kita membuat sebuah definisi, berarti kita sedang membuat sebuah batasan. Sedangkan seni sendiri adalah hal yang sangat tidak terbatas, hal yang akan terus berubah dan hal yang sangat erat kaitannya dengan pengalaman yang sangat personal.

Buat nyampe di pengertian yang mendekati objektif, cara mudahnya mungkin saya bisa bersandar sama definisi yang udah ada saat ini, atau juga saya bisa ngelacak dari segi akar bahasanya aja. Tapi ketimbang memilih itu, saya sih sebetulnya lebih senang mengatakan bahwa mau diungkap sebagaimanapun, seni buat saya tetep bakal jadi hal yang sangat misterius, hal yang bisa membuat anda merasa mengerti sekaligus tidak mengerti di saat yang bersamaan. Kesulitan pengungkapan definisi secara verbalnya membuat saat kita nanyain “apa itu seni?”, sama aja kayak kita nanyain “apa itu rasa manis?”. Kalo kita ngejawab manis itu adalah gula, itu bukan jawaban. Karena gula hanyalah hal yang mengakibatkan rasa manis. Ia tidak dapat kita pahami sebelum kita benar-benar merasakannya sendiri. Jadi kalo saya ditanya apa itu seni? Jawabannya yaa gitu deh haha.

Karya seni siapa yang pertama anda beli dengan Uang anda sendiri?
Belum pernah ada. Sampai sejauh ini sih kalo liat karya temen yang saya suka, saya lebih seringnya minta ato tukeran karya. Dulu waktu masih sering main sama temen-temen di IKJ, UNS Solo ato ISI Jogja juga kadang gitu.

Rutinitas melatih otak yang tidak pernah anda tinggalkan?
Rutinitas apa ya, kayaknya aktivitas berpikir itu sendiri sih. Literally berpikir haha. Ini sama kayak ikan yang ngejawab berenang pas ditanya hobinya apa sih sebenernya, tapi ini emang beneran, saya emang seneng ama proses berpikir murni, apapun itu bentuknya. Bikin pertanyaan sendiri jawab sendiri, bikin pengandaian-pengandaian, manipulasi hal yang abstrak jadi alur cerita ato visual, dan sebagainya. Dan manifestasi akhirnya bisa macem-macem, bisa berupa tulisan, karya ilustrasi, video ato juga film.

Nasihat apa yang anda telah ambil, namun tidak anda lakukan?
Sekali berarti setelah itu mati. Gak saya lakuin soalnya saya bikin nasihat baru buat saya sendiri, “Terus berarti setelah itu mandi” haha

Tanggapan anda tentang nasionalisme & patriotisme?
Bukan soal bendera, seragam atau juga lambang garuda di dada kalian. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme adalah hal yang tumbuh ketika pertama kali kalian mengucapkan “Ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk negeri ini”.

Menurut anda apa Indonesia benar-benar negara multikultur?
Kalo menurut teorinya sih iya. Indonesia punya beragam bentuk kultur, filsafat, suku, agama, adat, bahasa, intonasi berbicara, kesenian dan sebagainya. Tapi kalo dalam praktisnya, beberapa kasus masih nunjukkin kalo kita mungkin belum punya pengertian itu. Kadang kultur yang satu, pemikiran yang satu (biasanya sih yang jadi mayoritasnya), masih suka ngelakuin tindakan represif, masih suka memaksakan definisi kebenaran milik mereka terhadap pemikiran yang lainnya. Dan menurut saya sih, selama itu masih ada, sampai kapanpun kita gak bakalan nyampe di pengertian yang utuh tentang konsep multikultural itu.

Apa yang anda pikirkan ketika anda memikirkan Indonesia?
Sebuah gubuk tua yang atapnya bocor, pondasinya udah rapuh banget dan kayu-kayu penyangganya udah hampir habis dimakan rayap. Rumah yang sebetulnya gak layak untuk ditempatin, tapi di sisi lain, dia adalah tempat saya dilahirkan, tempat saya dibesarkan dan bakal jadi tempat saya disemayamkan nantinya.

Apa tanggapan anda tentang menjamurnya sifat konsumtif dan gagap budaya di kalangan remaja Indonesia?
Sifat konsumtif bisa jadi sesuatu yang positif asal dibarengin sama kecintaan kita sama produk-produk milik negeri sendiri. Selebihnya, tanpa itu, sifat konsumtif menurut saya cuma bakal jadi hal yang menjijikkan.

Kalo soal gagap budaya, saya masih gak ngerti gimana kongkritnya. Tapi yang pasti, karena saya bukan orang yang konservatif, saya sih setuju2 aja kalo bentuk-bentuk budaya memang harus selalu berubah, harus selalu disesuaikan dengan apa yang terjadi hari itu, dengan catatan bahwa dia gak kehilangan nilai yang dikandungnya. Jadi seandainya remaja-remaja kita jauh lebih bisa memahami nilai penghormatan kepada ibu dengan menonton film Hello Ghost ketimbang mendengar cerita Malin Kundang, lebih bisa memahami nilai kebersamaan dengan bermain band ketimbang bermain angklung, tanpa bermaksud untuk menggeser bentuk-bentuk lama, menurut saya sih hal-hal itu sah-sah aja asal bukan bentuk yang kosong nilai aja pokoknya.

Pesan untuk remaja Indonesia?
Plis manfaatin salah satu organ yang dianugerahkan Tuhan untuk kalian bernama otak itu (letaknya ada di dalam tempurung kepala kalian kalo kalian gak tau). Karena kalo udah kayak gitu, saya yakin banget banget banget nih, kelebihan hormon dan tenaga yang kalian punyai saat ini, gak bakalan jadi hal yang bakal dianggap sampah, merugikan orang, gak bakalan jadi boomerang untuk kalian buat dianggap sebagai generasi yang gagal.

Berlebihan? Ya udah, pesannya be yourself aja.

Oke, last words?
Word




***
dan pertanyaan dari teman-teman ODE LAMPU KOTA :

Sudah punya pacar? (Ade Radinal)
Belum. Pacaran punya resiko emosional yang tinggi banget. Buat saya yang sangat perasa, hal itu jadi sesuatu yang sangat membahayakan. Makanya ampe sekarang, saya lebih milih gak pacaran dan fokus berkarya aja.

(Boong ding, alasan sebenernya sih gara-gara gak laku aja haha)

Seni Rupa di Indonesia pernah jaya dizaman Raden Saleh. Nah, dengan berkembangnya zaman, 
Apakah Indonesia bisa kembali ke jaman itu dimana Seni Rupa bisa menjadi Primadona lagi di era sekarang ?
Menurut saya sih bisa. Kapannya itu yang gak tau haha.

Tapi yang lebih penting sih menurut saya ya rumusan kejayaan yang dimaksudnya itu dulu. Kalo kongkritnya itu adalah pasar, mungkin sekarang kita bisa sedikit berbangga, pasalnya setelah sekian tahun memasuki era kontemporer, beberapa kali dilaporkan bahwa pasar kita semakin membaik. Selain itu juga, di kancah seni rupa Asia, Indonesia juga pernah tercatat sebagai negara terproduktif bersama China dan India. Tapi seandainya kejayaan yang dimaksud itu berarti anak TK bercita-cita jadi seniman, tukang becak tahu karya Jompet, seni jauh lebih efektif menyadarkan ketimbang khutbah jumat, kehidupan seniman masuk infotainment, berarti perjalanan kita masih sangat kompleks. Kita butuh Museum, tempat karya dapat dilegitimasi dari “isi”nya. Bukan pasar yang selama ini melegitimasinya sebagai barang jualan.

Di jaman sekarang, masih banyak orang yang beranggapan bahwa seni rupa adalah jurusan remeh dimana masa depannya untuk 'karir' kurang jelas, apakah ini berpengaruh juga terhadap perkembangan seni di Indonesia? (Wildan Hafidz)
Menurut saya sih iya. Tapi ketimbang sebagai sesuatu yang bersifat linear, saya lebih melihat keduanya sebagai sebuah hubungan sebab akibat yang melingkar. Anggapan remeh terhadap jurusan seni mengakibatkan tersendatnya perkembangan seni rupa sebagai wilayah karir, dan tersendatnya perkembangan seni rupa sebagai wilayah karir juga mengakibatkan jurusan seni rupa dianggap remeh. Pemecahannya? Perlu ada bagian khusus menurut saya untuk membahas ini. Tapi yang jelas, harus ada pergerakan diantara keduanya, antara institusi akademis sebagai produsen dengan medan sosial seni sebagai wilayah yang akan mencerap itu.

Bagaimana pandangan/pendapat Anda tentang seni untuk seni dan seni untuk rakyat? (Gery Paulandhika)
Pernyataan saya tentang posisi seni mungkin sedikit di luar itu dan gak tau masuk ke bagian yang mana. Ketika perdebatan selalu nempatin keduanya sebagai pilihan, antara otonomisasi atau keberpihakan, kerja pertapa atau aktivisme, buat saya sebetulnya seni itu sendiri adalah pilihan. Penggunaannya erat dengan pertimbangan efektivitas penyampaiannya. Jika pemikiran jauh lebih bisa dirangkum dengan tulisan, maka menulislah; atau buatlah musik, video atau juga film ketika itu jauh lebih efekif. Bahkan ketika cukilan kayu pun tak lebih berguna ketimbang ikut mencangkul bersama petani, maka mencangkullah saat itu juga. Buat saya bukan seni yang harus berguna. Senimannya yang harus berguna.

Apa yang selalu menginspirasi Anda? (Iqbal 'SMANE TWO')
Pengalaman pas SMP mungkin ya. Pas waktu saya sekolah di sekolah swasta di daerah pasar, tempat saya kenal ama banyak anak yang bermasalah secara moril dan materil, gangster2 yang suka nge-drugs di sekolah, ketua OSIS yang abis sekolah harus jualan kelapa buat bayar SPP, anak tukang becak yg abis lulus milih buka tempat tambal ban, anak pinter yang tiap mau ujian kartunya ditahan gara2 nunggak SPP dan sebagainya. Pengalaman2 itu termasuk yang banyak ngebentuk saya ampe hari ini. Cara pandang saya, prinsip hidup saya, cara saya memilih sesuatu dan sebagainya.

Ten wishlist sebelum meninggal? (Azka)
Sebenernya selama ini saya cuma punya 2 hal, bikin film panjang sama bikin sekolah gratis. Tapi kalo ditanyanya 10, sisanya sih mungkin; ngobrol sama Kang Herry Sutresna aka Ucok Homicide, kuliah S2 film di Inggris, ngebukuin blog, jalan-jalan ke Tibet, nyanyiin lagu “anak merdeka” bareng Marjinal, nonton konsernya Fleet Foxes, dipeluk elda Stars and Rabbit sama bikin time capsule di Mahameru.

Kebahagiaan itu apa menurut Anda? (Nauval Firdaus)
Kebahagiaan menurut saya adalah ketika ada orang lain yang bilang makasih sama kita. Kadang saya jadi altruistik banget gara-gara pengertian itu. Tapi emang menurut saya sih cuma ini satu-satunya waktu saat saya bisa ngerasa jadi berarti, ngerasa kelahiran dan kehidupan saya yang selalu saya pertanyain ini, gak jadi hal yang sia-sia.    

Seberapa besar pengarus institusi pendidikan dalam mendukung kesenimanan Anda & seberapa besar institusi pendidikan mendistorsi kreativitas Anda? (Ellena Ekarahendy)
Dua-duanya sama besar sih menurut saya. Atmosfir kreatif yang dibangun di dalamnya mendukung kreativitas, tapi di sisi lain, peraturan dan sistem pengajarannya juga kadang menekan hal itu. Tapi buat saya yang terbiasa dengan keterbatasan, yang percaya bahwa kreativitas itu gak dateng kalo kita cuma jalan di jalan yang lurus dan mulus, kalo kita maen bola tapi gak ada lawannya, segala peraturan institusi akademis yang membatasi gerak kita itu sebetulnya juga mendukung kreativitas kita. Tikus yang kandangnya diberi banyak rintangan, terbukti memiliki struktur otak yang jauh lebih cerdas dibanding tikus lain yang hidupnya cuma dikasih enaknya aja. Jadi misalnya ada yang ngeluh-ngeluh kalo institusi pendidikan itu ngebatasin, saran saya sih nikmatin aja.