Entah apa yang tengah melucuti dan
menelanjangi segala jubah kedigdayaanku, terkadang seperti saat ini, aku merasa
bahwa mimpi hanyalah sisa-sisa hasrat kekanakkan yang luput terdewasakan;
sedang kenyataan adalah ayah tiri yang pada akhirnya akan paling menentukan ya
atau tidaknya.
Sebutlah kemana aku akan mengarah, aku
yang dulu, akan melantang “Mahameru! Negerinya
para dewa! Disanalah mimpiku akan kujemput”. Tapi hari ini? Entah. Aku
tidak tahu. Aku tersesat. Tetiba aku menjadi manusia tanggung saja. Pendaki yang
terlalu ragu untuk kembali turun tapi juga terlalu takut untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan lain di balik belantara di depannya.
Entah karena aku yang memang salah terka
barangkali. Kukira menguasai banyak hal adalah cara terbaik untuk menjadi utuh,
nyatanya ia hanyalah sekat berperekat sagu yang memudahkanku dipecahkan
berkeping-keping saja. Kukira membuat jalan sendiri dengan memangkas belantara akan
mempercepat lajuku, nyatanya ia hanya membuatku berputar-putar dan tersesat di
tengahnya saja. Kukira mendengarkan beberapa kicauan maya selama berjalan akan
membuatku merasa bersemangat, nyatanya ia hanyalah kawan semu yang tak pernah benar-benar
mengusir senyap di sampingku. Aku tidak tahu itu.
Aku benar-benar tidak tahu. Kemana dan
bagaimana aku harus menjadi saat ini, yang kutahu aku hanyalah keping pecahan yang berjalan
tersesat sendirian. Keliru dan tak lagi bisa membedakan mana yang bisa
dinikmati dan mana yang harus diludahi.
Aku yang kini hanya sekedar ini, lelaki rimba
yang tengah tersesati belantara; yang saat ini hanya bisa menunggu selain menanti,
setibanya apapun, yang barangkali mau berbaik hati menunjukkan arah, terlebih menjadi alasan
dan perasaan terbaik untuk menuju.
***
No comments:
Post a Comment