|Beberapa hari belakangan
ini, ruang Tugas Akhir nampak menjadi hal yang cukup menarik bagi saya. Ia
tiba-tiba saja berubah menjadi ruang tempat pembicaraan tentang agama dan Tuhan
tidak pernah hilang. Kadang ia terdengar sangat sekuler, dan kadang juga
menjadi sangat mistis; kadang ia menjadi sebuah perdebatan tajam dan kadang
juga ia berupa curhatan kecil antar kita.
Dan mungkin semua itu memang
berawal dari ini, buku-buku filsafat dan teologi yang belakangan ini saya
sengajakan bawa ke kampus. Filsafat moral, filsafat ilmu, filsafat mistis,
kosmologi Islam, Ibnu Arabi, Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari atau juga
sufisme-sufisme lainnya. Semua itu saya bawa untuk keperluan Tugas Akhir yang
kebetulan memang tengah saya dalami kembali untuknya.
Dan entah apakah karena
manusia-manusia ini memang ditakdirkan untuk senang berbasa-basi atau mungkin
juga karena persoalan Tuhan dan agama memang selalu menjadi bagian dari tanda tanya
pemikiran yang sangat menarik, yang membuat hampir setiap kawan yang memasuki
ruang TA dan menemukan tumpukan buku-buku saya akan memulai pembicaraan dengan,
“ini buku lu?”, “buat apaan?”, “buset,
berat banget dah bacaannya?”, “lu baca sufistik Islam juga ya?”; dan
berikutnya setelah saya menjawab “buat bikin
film”, “konsep tugas akhir”, tidak ada yang menyadari bahwa tiba-tiba saja kami
telah berada dalam perbincangan intens soal Tuhan dan agama. Dan sesaat setelah
perbincangan itu dimulai, ruang Tugas Akhir seperti telah resmi berubah menjadi
ruang konseling TA. Tuhan dan Agama. Lengkap dengan antrian di ujung pintu. Tertib
secara bergantian. Senior saya dan junior saya; yang Islam dan yang Kristen; yang
bertuhan dan yang masih mencari-Nya; keluarga yang straight dan keluarga yang liberal lantaran kedua orang tuanya
memang berbeda agama; yang terang-terangan membuka perbincangan dan yang terlebih
dulu berdalih meminta lagu-lagu Bon Iver serta lagu-lagu folks lain yang sering
diputar dari ruang TA.
“Sejarah
pertikaian agama adalah sejarah politis” kataku. Ia muncul saat salah satu darinya mulai
merasa harus menguasai satu yang lainnya. Persoalan kekuasaan, fanatisme, berebut
pengaruh. Bahkan friksi terbesar dalam sejarah Islam – Sunni dan Syiah –
sepanjang sepengetahuan saya dipelopori atas dasar perebutan kekhalifahan pasca
kematian Muhammad saw. Kasus lain, penentangan Iran terhadap Israel pun tidak
bisa dengan serta merta diartikan sebagai bentuk kebencian Islam terhadap agama
Yahudi. Zionisme bukanlah gerakan spiritual ataupun agama. Ia adalah bentuk
penjajahan, dan Iran menentang penjajahan itu. Selalu seperti itu, “Pertikaian antar agama selalu didasari oleh
motif-motif politik yang bersembunyi di balik bendera agama. Itulah titik
permasalahannya, politisasi! Bukan agamanya!”.
Lupakan dimensi itu, lalu
kita akan berhadapan dengan agama dan Tuhan dalam makna spiritualitasnya. Bahwa
Eksistensi Tuhan adalah The Ultimate Reason, dan ajaran agama adalah hukum dan moralitas
tertinggi. Ia adalah postulat-postulat dalam kajian moralitas yang memberi
tawaran pada manusia agar tidak hanyut dalam kontemplasi nihil yang terus
menerus. Sesuatu yang oleh Kant disebut dengan corrollarium (kesimpulan) budi
praktis. Ia yang akan mengisi kekosongan makna saat manusia mulai bertanya
tentang asal, tujuan, dan persoalan-persoalan esensial lainnya seputar
penciptaan. Penolakan terhadap postulat-postulat itu, memungkinkan manusia
berada dalam ketidakpastiannya, ketidaktenangannya, dan pada titik ekstrimnya dapat
memunculkan kegilaan dan motivasi bunuh diri. Seperti saya pada waktu-waktu itu
mungkin, pertengahan SMA. Culture shock dan tiba-tiba saja saya berubah menjadi
seorang nihilis; Marxis, seseorang yang tak mempercayai konsepsi metafisik
apapun. Stoisis, anti kemapanan, seseorang yang dapat dengan lantang berteriak “Persetan dengan ajaran Aristippus!!”, “Hedonis-hedonis anjing!!”. Di saat-saat
itu, saya tidak mampu menemukan makna hidup. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
esensial tentangnya. Dan berikutnya kegelisahan itu sempat memunculkan
motivasi-motivasi bunuh diri dalam pikiran saya, hingga kemudian, penerimaan
terhadap konsepsi Tuhan datang menyelamatkan.
Atas pembicaraan tentang
kebenaran dan sikap terhadap keterbedaan yang muncul diantara kami, saya lebih
suka menganalogikan agama dengan makanan. Saat saya merasa bahwa nasi goreng
adalah makanan ternikmat di dunia, saya tidak bisa memaksakan kawan saya yang tidak
suka nasi goreng dan lebih suka mie instant untuk mengatakan bahwa nasi goreng
adalah makanan terenak. Kenikmatan, spiritualitas adalah soal rasa, soal
selera, soal kepercayaan, soal hati kita. Ia kadang tidak bisa disematkan pada
persoalan mana yang lebih benar atau mana yang lebih “bergizi”. Toh pun
seandainya memang diperdebatkan, bukankah kebenaran tunggal hanya milik Tuhan? Dan
sekalipun Tuhan yang berbicara, bukankah agama pada akhirnya hanyalah berupa
tafsir-tafsir manusia, makhluk-makhluk yang hanya mampu meraba-raba dan merumuskan
kemungkinan-kemungkinan saja? Dan seandainya seperti itu, bukankah fanatisme sebagai
bentuk klaim paksa terhadap kebenaran menjadi satu tindakan penghinaan terhadap
Tuhan Sang Pemilik Kebenaran? Jadi sekarang siapa yang harus disebut kafir?
Keyakinan adalah sesuatu
yang abstrak. Ia erat kaitannya dengan pengalaman intrinsik. Sesuatu yang hanya
bisa dimengerti oleh masing-masing dari kita saja. Saya mempercayai bahwa cara
ibadah yang berbeda tidaklah berarti bahwa diantara kita ada yang benar dan ada
yang salah. Seperti halnya ketika saya tidak bisa begitu saja mengklaim bahwa
jalur yang ditempuh kawan saya menuju Cirebon adalah salah hanya karena saya
berangkat dari Bandung dan kawan saya berangkat dari Jakarta. Banyak jalan
menuju Roma. Tuhan tetaplah Tuhan sekalipun disembah dengan berbagai cara. Sang
Maha Besar yang tidak akan menjadi kecil sekalipun disebut dengan nama-nama
yang berbeda.
***
Soal kebenarannya?
Entahlah. Saya hanya bisa
mempercayai
kemungkinan-kemungkinan itu.