The world will not be destroyed by who
do evil,
but by those who watched them without
doing anything
Albert Einstein
Baru-baru ini, tapi juga tak sebaru
terobosan konyol ala dewan eksekutif di kendurinya Donald Trump belakangan ini,
seorang anak kembali meregang nyawa di tangan teman sekelasnya; lagi. Entah
saya harus berapa kali lagi membubuhi kata lagi karena pada kenyataannya,
hal-hal semacam ini masih belum bisa luput dari diktat usang kita tentang
menjadi manusia yang adil dan beradab; menghempas jauh sabda Zarathustra
tentang adimanusia ke lubang cacing bernama utopia, lagi dan lagi. Kita masih
punya nisan kecil bertuliskan Renggo Khadafi di pekarangan kita, si cantik
Angeline, dan belum lagi jasad-jasad tak bernama yang tak sempat dipusarakan
lainnya kemarin. Tapi nyatanya, jumlah itu belum cukup untuk membelalakkan kita
hingga hari ini.
Soal kronologis mencengangkan bahwa A
(8th) dipukuli oleh R (8th) saat jam pelajaran, bukan saya tidak ingin
menyinggungnya, hanya saja, kenyataan bahwa guru dan orang tua masing-masing
telah sangat mengetahui jika A dan R sering terlibat perkelahian, jauh lebih
mengganggu saya! Mereka mengetahuinya?! melihatnya tapi tidak melakukan apa-apa
selain mengatakan hal konyol “tadinya
saya kira itu cuma kenakalan anak-anak biasa”?! Iya, memang kenakalan
anak-anak biasa; tapi saya kira pun, pejabat-pejabat rakus yang saat ini sering
mencuri uang rakyat pun, bisa jadi adalah anak-anak kecil yang dulu pernah
mencuri penghapus temannya, tapi guru dan orang tuanya hanya membiarkan dan bergumam
“tadinya saya kira itu cuma kenakalan
anak-anak biasa”.
Saya tidak sedang berusaha menyalahkan
atau menyerang siapa-siapa, hanya saja saya kira tidak di bumi manapun hal
seperti ini bisa terus dibiarkan. Anak-anak,
the living messages we send to a time we will not see, mau bagaimanapun
adalah generasi yang akan meneruskan nantinya, satu-satunya kemungkinan terbaik
yang kita punya untuk membersihkan kotoran-kotoran para pendahulunya termasuk
kita. Kemarin, pembiaran kita telah kembali meminta korban, besok, entah apa
lagi yang akan diminta. Maka rasanya tak ada cara lain selain tak menjadi
apatis atas mereka. Karena setiap kali saya memikirkan ini, kadang saya sering
bertanya pada diri saya sendiri, apakah harus, menunggu anak-anak ini berubah
menjadi sinyal-sinyal wifi atau kurs-kurs rupiah terlebih dulu agar kita,
negara, mau memperhatikan dan menyatakan status krisisnya ketika mereka mulai
melemah atau bermasalah? Entahlah.
***