Diantara gelak tawa yang menyurupi tiap
ubun-ubun kala itu dan kegembiraan tentang menjadi berhala sesaat untuk setiap
hidangan malam itu, ia adalah sebuah pengecualian. Tubuh mungil dengan
sekeranjang tisu di muara lengannya, yang selalu bergidik tatkala keriangan
ditanyakan kepadanya.
“Aku
meninggalkannya di sudut rahim ibuku sesaat sebelum terlahir. Memintanya untuk bertahan
dan tetap menunggu dengan bersabar hingga aku kembali kelak.”
adalah ujarnya untuk para tuan yang berjanji
akan membeli tisunya seandainya ia mau bercerita; berulang tiga, lima hingga
sekian belas kali hanya agar tisu-tisunya habis terjual. Satu-satunya sampan untuknya
berlayar pulang, menuju rumah yang sebetulnya pun, tak pernah sepenuhnya
menjadi rumah.
“Entahlah,
aku tidak mengerti apa yang kalian katakan tentang keluargaku, yang kutahu
ayahku adalah seorang dermawan. Ia seringkali meminta semua uang ibuku hanya
agar ia bisa membayarkan tunggakan sekolah para gadis di warung berlampu remang
di sana jika kalian perlu tahu.” kilahnya.
“Walaupun
terlihat agak kasar ketika ia mencambuki ibuku jika periuk nasi tidak berhasil
diisi lagi, tapi bukankah kalian pun telah lebih dulu tahu, bahwa cinta selalu
punya banyak cara?” lanjutnya.
Keluguan itu; tak ada satupun yang benar-benar
lebih tersesat darinya selain hati kecil sang pencerita itu sendiri. Ia yang
harus tetap memilih begitu sekalipun kenyataan terpahitnya telah lama mendewasakannya;
sekalipun mata yang mengacuhinya telah lama menjadi hal yang paling ingin
ditikamnya.
“Kita
tidak sedang menjual tisu nak. Kita sedang menjual ketakutan; kegagalan dan citra-citra
terburuk dari hidup seorang manusia nak.”
Nada-nada itu kembali mengianginya lagi.
“Beberapa
masih membutuhkan itu hanya agar mereka bisa menakuti anak-anak mereka untuk
mau belajar dan mencari arahnya; memaknai apa yang telah dipunyainya; atau juga
agar mereka bisa tetap ingat bahwa negeri yang tengah dipijaknya saat itu adalah
narasi terbesar yang belum terselesaikannya.
Kita
adalah nada-nada sumbang yang harus ada untuk memaknai suara parau mereka nak;
muntahan yang harus keluar bersama racun dari tubuh mereka; anjing-anjing
kotor yang harus terus mencuri sarapan mereka tiap pagi agar mereka mau beranjak
dan berlari mengejar sesuatu dalam hidupnya.
Dan untuk
segala tanggung jawab peran itu, pengorbanan untuk menjadi kita itu; yang
kutahu, tak pernah ada lagi yang cukup kuat menanggungnya selain diri kita
sendiri nak.”
Jadi
berhentilah mengatakan bahwa dirimu tidak berguna.”
Bisik sang ibu, di hembus terakhir yang
paling menghantam dan paling diingatnya. Tempat keriangannya disemai yang kini
meninggalkannya sendirian di ceruk terdalam keterasinganannya.
Dialah ia.
Alif kecil yang tergenang di kubangan
kota.
Mencari remah roti di tepian iba sebuah
pesta.
***