Dan seperti
pada waktu-waktu yang lalu,
setiap kali
aku tiba di tempat ini, ia selalu disana.
Di sebuah
persimpangan.
Dengan sebuah
flute yang selalu ia mainkan saat anak-anak lusuh
itu telah
berkumpul untuknya.
Tiga, lima
belas, tujuh puluh enam dan hari ini bahkan ia mengajak
beberapa ekor
kucing untuk bergabung. Tak mengherankan.
Kudengar
setiap pagi ia sering menyisakan remah roti di meja
makannya
hanya agar beberapa semut bisa membawanya pulang.
Ada yang
selalu kutunggu darinya setiap sore.
Sebuah ritus
kecil, saat rambut sebahunya mulai digodai angin.
Saat rok
selututnya mulai menari-nari kecil di ujung-ujung kulitnya.
Candu itu,
membuatku diam-diam harus selalu menjatuhkan beberapa
koin di
hadapannya. Memesan teh sepanas mungkin,
dan
menunggunya dingin tanpa kutiup sedikitpun.
Bahkan saat
telah menjadi dingin, ia tetap kuminum seolah-olah
ia masih
sangat panas. Berulang-ulang kulakukan hanya agar
aku bisa
duduk di kursi warung ini.
Tempat
terbaik untuk mengaguminya.
“Kau adalah alfabet
pada tiap buku cerita yang mengisahkan
tentang
kebaikan. Kau adalah nada keempat pada sederetan nada lima notasi.
Sebuah blue
note. Muses untuk setiap mereka yang
tengah diperangi
apartheid jalanan.” Kataku
***