Beberapa
hari yang lalu, ibuku terkejut menemukan kertas daftar pemilih untuk pilkada
telah menjadi beberapa robekan. Ia kebingungan karena mengira lembaran tersebut
masih akan digunakan. Lalu aku mengingatkannya,bahwa tidak ada pemilihan dalam
waktu dekat ini. Lagipula, kertas daftar pemilih tersebut adalah daftar pemilih
yang telah digunakan untuk pemilihan walikota beberapa minggu yang lalu.
Tiba-tiba
saja hal itu mengingatkanku pada beberapa waktu pemilihan kepala daerah yang aku
lewatkan tanpa memasuki bilik suara barang sedikitpun. Aku selalu memilih tidur
pagi itu. Atau lebih tepatnya jika dibilang pura-pura tidur.
----
Anggap saja
bahwa aku tidak berpendirian, tidak cukup berani untuk memilih. Tapi buatku,
entah karena malas ataupun atas determinasi ideologi tertentu, tidak memilih
pun adalah sebuah pilihan juga. Atau dalam bahasa lain adalah sikap juga. Perkara
kekecewaan atau ketidaksetujuan pada beberapa hal dibelakangnya mungkin. Yang
kemudian menghilangkan selera seseorang untuk memilih salah satu calon pemimpin
yang telah ia tahu bahwa beberapa diantaranya tak lebih dari onggokan daging
busuk tanpa nilai berbalut jas dan dasi saja. Mungkin saja. Seperti pada apa
yang aku lihat ini misalnya.
Partai. Sebuah
instrumen politik yang buatku beberapa diantaranya lebih mirip industri kotak
suara, menjajakan jagoan-jagoannya untuk dimenangkan pada pertarungan perebutan
kursi kepemimpinan. Besarnya dana operasional, serta SDM yang dikeluarkan untuk
satu kali pertarungan, menjadikan siapapun yang terlibat dalam pertarungan ini
akan tertuju pada pemikiran “balik modal”. Prinsip bisnis paling sederhana. Lalu
bagian terburuknya adalah ini. Pada dunia pendidikan, mindset “balik modal” yang
kemudian tumbuh pada kebanyakan mahasiswa akibat semakin mahalnya dana
operasional pendidikan, telah menjadikan mereka berpikir bahwa goal dari pendidikan tinggi adalah pekerjaan dengan gaji tinggi. Yang secara asumtif telah menggerus konsensus atas peran-peran
sakral mahasiswa serta cita-cita luhur pendidikan dari ingatan mereka. Hal serupa pun sangat
mungkin terjadi pada dunia partai ini, yang mengakibatkan pelupaan terhadap
cita-cita luhur yang ingin dicapai partai. Cita-cita yang lebih sublim dari
sebuah kepemimpinan.
Konsekuensi
lainnya, partai semakin gencar menempuh cara-cara murahan apapun demi
mendongkrak suara mereka, kemenangan mereka, yang tentunya juga berbanding
lurus dengan keuntungan mereka. Misalnya dengan menghadirkan publik figur atau
artis-artis yang lebih dikenal masyarakat sebagai kandidat mungkin. Yang
diharapkan dapat menyedot banyak perhatian publik. Tapi celakanya,
manusia-manusia mendadak politik ini, beberapanya dipilih tanpa
mempertimbangkan kompetensi dan kapasitas yang mereka miliki. Dalam sebuah
debat calon legislatif di sebuah stasiun televisi beberapa tahun lalu misalnya,
aku pernah menemukan seorang kandidat yang bahkan tak mengetahui apa-apa
tentang seluk-beluk perpolitikan. Ia seorang artis dangdut. Dari cara
berbicaranya saja siapapun akan tahu betapa rendahnya intelijensi yang
dimilikinya. Benar-benar goblok. Bagaimana dia bisa dipilih oleh partai sebagai
kandidat dengan kompetensinya itu? Entahlah. Bayar mungkin. Asumsi yang sama, berlaku
juga untuk pertanyaan bagaimana preman dan mafia dapat berhasil menduduki kursi-kursi
pemerintahan kita.
Kampanye,
bagian lain dari aktivitas partai, pun tak mampu menyembunyikan kecacatannya. Pada
titik ekstrimnya, ia buatku seperti sebuah penghinaan untuk publik. Pembodohan
dan pembohongan. Perempuan-perempuan cantik sintal yang diinstruksikan untuk
berjoget-joget dangdut di bagian depan panggung, serta pembagian uang secara
illegal, apalagi jika hal itu bukan pemikiran mereka yang menyatakan secara
tidak langsung bahwa publik adalah manusia-manusia rendahan yang dapat
dipengaruhi hanya dengan iming-iming pemuasan kebutuhan vegetatifnya saja? Yang
dapat dihipnotis perhatiannya dengan gambaran perempuan-perempuan cantik saja?
Belum lagi
soal slogan-slogan yang gak nyambung seperti “coblos kumisnya” atau “coblos
kancingnya”, serta iklan-iklan yang bahkan tidak mencerminkan pemikiran yang
dibawanya (aku pernah menemukan iklan kampanye pilgub yang isinya cuma
joget-joget sambil nyanyi doang). Seolah-olah ada pengukuhan bahwa visi misi
serta pemikiran yang mereka bawa tak lebih dari sebuah slogan-slogan jualan
belaka, sehingga cara-cara menampilkan kandidat layaknya iklan-iklan produk
dengan prinsip-prinsip advertising seperti itu, adalah hal yang tidak memalukan
bagi mereka. Entahlah. Aku tetap menganggap ini sebagai pembodohan. Sekalipun
aku setuju bahwa publik adalah manusia dengan intelijensi rendah yang hanya
mampu menerima rangsangan-rangsangan biologis serta bahasa-bahasa rendah saja,
cara-cara kampanye tadi tetap tidak bisa dibenarkan mengingat partai adalah sebuah
institusi dengan konstanta-konstantanya yang berpendidikan tinggi yang
seharusnya mengupayakan pencerdasan. Kecuali ada yang mengakui bahwa pembodohan
publik adalah bagian dari rencana.
Bagian
menjijikan lainnya adalah, ketika mereka mulai memamerkan perbuatan-perbuatan
baik mereka. Kunjungan ke pasar, panti-panti sosial, mengadakan posko kesehatan
gratis, dan seterusnya. Hipokrit! Mereka hanya melakukannya untuk kampanye hari
itu saja! Hari sebelumnya serta hari setelahnya, seperti yang terjadi pada yang
lainnya, kegiatan-kegiatan seperti itu tidak pernah mereka lakukan. Hipokrisi yang
hanya akan terus melabuhkan kampanye pada kegiatan-kegiatan pencitraan, branding,
serta permainan visual konstruktif belaka.
Di ruangan
yang lain, kepemimpinan yang ada pun tak pernah mampu menumbuhkan kembali
kepercayaan publik terhadap politik. Janji-janji kampanye yang tak pernah
terbukti, sikap-sikap pembiaran terhadap kejahatan-kejahatan negara, penyakit-penyakit
politik yang terus merajalela, serta pengkhianatan-pengkhianatan lainnya adalah
alasan-alasan logis atas suburnya mosi tak percaya yang tumbuh di kalangan publik.
Soal korupsi misalnya. Alih-alih dibasmi, para pemimpin terpilih kita ini,
banyak yang justru malah ikut melakukan tindak korupsi. Dan jumlahnya tidak
sedikit. Ia menjangkiti hampir di setiap bagian birokrasi di negeri ini (bahkan
saking banyaknya, sepertinya tidak akan ada membantah jika UNESCO tiba-tiba mempatenkan
korupsi sebagai budaya asli Indonesia). Atas pertimbangan hukum yang tidak adil
terhadap koruptor mungkin. Yang telah menjadikan siapapun melihat korupsi, dengan segala ketidakadilan konsekuensinya, sebagai aktivitas yang sangat menguntungkan yang sulit untuk dilewatkan.
Selain itu perilaku-perilaku
buruk yang meliputi dunia perpolitikan pun menambah citra buruk pada mereka. Dari
mulai tidur atau tidak hadir saat rapat berlangsung misalnya, hingga
skandal-skandal brengsek seperti menonton video porno saat sidang atau bahkan
terlibat langsung skandal video porno dengan artis dangdut, pernah mewarnai
hari-hari kepemimpinan mereka. Anjing, Trus
selama ini kita dipimpin orang-orang kayak gini??
Dan atas
kekacauan sistemik itu, tiba-tiba saja suatu hari aku harus memilih salah satu
dari mereka?
Tidak.
Selama
politik masih hanya berupa pertarungan berbagai kepentingan saja. Selama
didalamnya, tujuan-tujuan keuntungan masih lebih besar daripada
motivasi-motivasi ideologisnya saja. Selama slogan KPU “gunakan hak suara anda”
masih menunjukkan bahwa suara kita hanya penting saat pemilu saja, menurutku
tidak. Aku akan tetap memilih untuk tidak memilih. Hingga sesuatu
menggiurkanku.
---
Tapi ada yang membuatku penasaran
dari para pemimpin kita ini.
Seandainya setiap dari mereka
harus menjadi Ahmadinejad,
memimpin rakyat tanpa fasilitas
mewah apapun,
hidup sederhana dengan gaji yang
selalu disumbangkan tiap bulannya,
apakah mereka masih akan berlomba
untuk menjadi pemimpin kita?
Pada akhirnya
aku tetap harus mengakui, alasan malas untuk pergi ke pos pemungutan suara,
serta malas untuk mengotori jariku dengan tinta adalah alasan sebenarnya
mengapa aku selalu memilih golput.