INT. RUMAH, SORE
Seorang adikku telah pulang
dari waktu bermainnya.
Sepertinya ia menggenggam
sesuatu di tangannya.
“Ah, bubur lemu rupanya.
Berapa harganya dik?”
tanyaku.
“Seribu rupiah”
Karena pada
kenyataannya, dengan itu aku masih dapat membeli semangkuk kecil bubur sumsum
beserta delapan butir candil berukuran kelereng yang disiram dengan santan dan
gula merah cair. Atau jika aku mau menambahkannya dengan sekeping koin lima
ratus rupiah, aku masih bisa menemukan seorang pedagang yang mau menukarkannya
dengan semangkuk kecil bubur kacang panas. Atau juga aku pernah tahu seseorang yang
mau menukarkan balon panjang yang telah disimpul menjadi bentuk kuda jika aku
mau memberikan dua lembar uang seribuan ini kepadanya. Atau aku juga dapat
pergi ke seseorang yang lain dan menukarkannya dengan beberapa lembar gambar polos
yang ia punya. Atau mungkin penjual perahu othok-othok disana pun masih mau
menurunkan harganya untukku.
Dan aku
tidak begitu sepakat dengan nominal-nominal uang itu. Bahwa buatku itu bukan
harga yang setimpal atas sesuatu yang kita sebut keterampilan manusia, daya
cipta manusia, kreatifitas, ide atau karya tangan seorang manusia. Maka karya-karya
seni berharga ratusan juta itu, buatku menjadi sebuah penghinaan. Mungkin aku
agak lupa bahwa gedung itu telah mengajariku menentukannya . Yang ini mahal dan
yang itu murah. Yang ini seni dan yang itu bukan seni. Sedang sejauh ini aku tak pernah tau apa
pentingnya itu. Lantas apa pedulinya jika aku bilang persetan. Karena yang aku
cintai bukan karya seni, tapi kemampuan manusia mencipta. Bukan pemikiran estetis
tapi pemikiran kreatif. Bukan konsep sebuah karya, tapi cerita sebuah karya. Bukan
penjelasan tentang “apa” tapi tentang “bagaimana”.
Paling tidak harga-harga itu seharusnya bisa lebih tinggi. Tapi mungkin juga itu simalakama. Karena mereka
bisa saja kehilangan semua langganannya, sedang para penghuni kelas atas sudah terlanjur
menganggapnya menjijikkan. Maka lagi-lagi ini kembali bermuara di meja judi. Karena
jika bicara soal solusi seharusnya aku melibatkan pembicaraan ruang lainnya
juga. Ekonomi, kelas sosial, etika dan estetika bisnisnya. Tapi ini memang sebuah ocehan. Karena aku lebih tertarik mempertanyakannya sebagai seorang manusia
saja. Tanpa yang lainnya.
Dan semangkuk
kecil bubur lemu di depanku masih belum kusantap.
Rupanya aku
masih belum setenang itu.
Aku lantas
bergumam
“Semoga
Tuhan memberikan kebaikan untuknya.”
Paling
tidak, itu harga yang bisa kubayar untuknya
sumber foto :
1. http://kfk.kompas.com/kfk/view/118631-Pedagang-Balon
2. http://ordinary-people-yos.blogspot.com
editing foto :
retorika-monolog.blogspot.com
sumber foto :
1. http://kfk.kompas.com/kfk/view/118631-Pedagang-Balon
2. http://ordinary-people-yos.blogspot.com
retorika-monolog.blogspot.com