Sesekali persimpangan itu nostalgis. Jalan tua berimbun kidung yang
terkadang dengan serampangnya meretas mimpi ternyataku tentang menjadi merdeka
sendirian; yang seandainya sedikit saja aku abai dari khidmatku berjalan ke
depan, ia telah dengan mudah menyita sebelah langkah tegapku ini dan hanya menyisakan
sebuah pincang untukku melanjutkan. Dihanyut angan di denyut kenangan. Ke
sekian jarak yang terlampau rumit untuk bahkan dipecahkan oleh ribuan
Khawarizmi sekalipun; ke ribuan samsara yang terlampau sengsara untuk bahkan
dikejar tangguh cintanya sang suara kepada cahaya sekalipun. Dan seandainya itu
terjadi di suatu ketika,
“Aku merindukan
kita”
hembusku
Sebuah perjalanan lampau, saat kita masih menjadi kafilah berlalu yang
menggonggi anjing yang tidak pernah berhenti menggunjing; saat berkarya masih
jauh lebih menarik ketimbang menjadi kaya; sedang frasa ‘sukses yah’ hanya
masih akan berlabuh di lembar ujian kuliah.
Di masa-masa itu rasanya, tak satu Cartenz, Elbrus atau bahkan Everestpun
yang dapat dengan tepat memberikan kita sebuah kredo tentang kekalahan. Tak seonakpun
dan tak seilalangpun; selain rumput kering pembaringan kita di sana. Tempat
cita dan cinta tak pernah gagal meleburkan lamunan kita pada petualangan
menjadi apa; dan keluh serta peluh, tak pernah gagal diluluh mantra yang
paling tak terdustakan dari kalian.
“Suatu saat kita
akan merindukan hari ini”
lirihmu.
***