***
Malam
itu di ruang tengah, ia menghampiri kedua orang tuanya. Duduk di tempatnya dan
melemparkan sebuah pertanyaan kepada mereka,
“Mana yang lebih penting buat kalian,
uang atau aku?”
Keduanya
menjawab,
“Tentu saja kamu jauh lebih penting
nak”
Ia
bertanya lagi,
“Seandainya semua uang yang kalian punya
diurus oleh pembantu kita, apakah kalian akan tenang atau tidak?”
Keduanya
serentak lagi,
“Tentu saja kami tidak akan tenang nak”
“Lalu mengapa ketika aku diurus oleh
pembantu kita setiap hari, kalian bisa tenang-tenang saja?”
***
Dengan berbagai versinya, sebagian dari
kita mungkin pernah mendengar potongan percakapan di atas. Tapi soal bagaimana kebenarannya,
itu tidak penting menurut saya, karena tamparannya sejak lama ada di hadapan
kita. Terlebih pada saat deretan berita yang menyesakkan itu, muncul di
belakangan ini. Saat benar bahwa uang nampak jauh lebih menarik untuk diurus
ketimbang anak-anak. Saat mereka hanya menjadi benda-benda yang kita buat sesukanya,
dan menjadi selesai dengan kita lahirkan begitu saja.
Dari Sukabumi, kita telah dibuat
cengang dengan jumlah anak korban kekerasan seksual Emon (24 th) yang menembus
angka seratus hari ini. Bahkan pengusutannya masih berjalan dan masih terus
berkembang ketika tulisan ini dibuat. Lewat Jakarta, kita juga dikejutkan oleh berita
Renggo Khadafi (11 th), siswa kelas 5 SD yang meregang nyawa setelah dipukuli
oleh siswa kelas 6 lantaran menjatuhkan makanan seharga seribu milik kakak
kelasnya itu. Dan semakin mengejutkan lagi ketika tahu bahwa pemukulan terhadapnya tetap
terjadi sekalipun Renggo sudah meminta maaf lalu mengganti makanan yang dijatuhkannya. Melompat ke sekitaran sebulan ke belakang, kebinatangan lain juga muncul di
berita penyiksaan Iqbal, bocah 3,5 tahun yang diculik oleh teman ibunya, yang dipaksa
mengamen dan akan disiksa ketika uang yang didapatinya tak lebih dari Rp
40.000,- . Ia ditemukan dengan tubuh penuh luka gores dan lebam, tangan
kanannya patah, mulutnya terluka bahkan dikabarkan lidahnya digunting, terdapat
luka pukulan benda tumpul di daerah vitalnya bahkan dikabarkan kemaluannya dipotong.
Iqbal hanya bocah 3,5 tahun! Tapi
tubuhnya telah merekam banyak penyiksaan ala Auschwitz milik Nazi! Biadab! Dan menjadi
semakin mengerikan ketika sadar bahwa Iqbal bukan satu-satunya Iqbal, Renggo
bukan satu-satunya Renggo dan Emon bukan satu-satunya pemilik gelar paedopil
gila. Apa yang saya tulis, hanyalah sesuatu yang terjadi di sepanjang 2 bulan
ini. Itupun yang selama ini terangkat oleh media saja. Selebihnya, di jalanan
kekerasan semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan. Anak-anak ada di sana dan
kita melewati mereka setiap hari. Di sepanjang lembaran surat kabar juga, bukan
pertama kali mesin offset kita mencetak judul-judul semacam ini. Kita pernah
punya robot gedek, kita pernah punya guru ngaji yang mencabuli; Kita punya
anak-anak korban trafficking dan kita punya para tahanan anak. Kita masih punya anak-anak buruh kulit dan kita juga masih punya anak-anak jermal yang bertarung di tengah laut.
Pengulangan-pengulangan itu, ketidakmampuan kita menghilangkan kesalahan para
pendahulu kita itu, membuat definisi peradaban sebagai hukum kemajuan hanyalah
omong kosong buatku. Kita tidak pernah belajar, kita tidak pernah berjalan
maju.
I
Siapa yang bertanggung jawab atas anak-anak
itu? Tentu saja kita! Saya, kamu, dia dan mereka bertanggung jawab! Keluarganya,
sekolahnya, presidennya dan teman-temannya. Kita yang membuat sistem, kita yang
membuat celah, kita yang melakukan pertama, dan kita yang tidak peduli. Children
see, children do. Mereka para peniru yang baik. Apa yang terjadi hari ini,
tidak mungkin tidak terkait dengan hal-hal sebelumnya. Orang tuanya,
lingkungannya, dan pendahuluan-pendahuluan lainnya. Sejak itu, kejahatan selalu
menjadi anak kandung kita. Dan ketika itu terjadi di lingkungan anak-anak –
entah mereka sebagai korban atau pelaku – keteledoran kita menempatkan kita
sebagai pelaku yang kedua.
II
Dimana para orang tua? Ketika anak-anak
ini ada di jalanan, bekerja layaknya budak belian, menikam kawannya di sekolah
atau juga menyalahgunakan obat? Pergi keluar negerikah? Ayahnya terlalu sibuk
bekerjakah? Dan ibunya, atas asas persamaan gender juga memilih sibuk
berkarirkah? Atau bahkan justru para orang tua yang mengajari anak-anak itu
melakukannya? Lebih dari sebuah kegiatan alamiah berkembang biak dan lebih dari
pemenuh pengertian keluarga sejahtera ala program KB, melahirkan anak harus
disertai banyak pertimbangan sebagai kebutuhan. Dan jika mereka tidak memahami
ini, sebaiknya jangan pernah sekali-kali menghadirkan manusia baru ke dunia ini.
Para orang tua yang goblok tidak akan menghasilkan hal yang lebih baik dari
generasi yang bobrok. Jangan buat anak kalo gak tau anak itu buat apa.
III
Tidak ada hal yang dapat mengganti para
tetua yang sudah mengacau dan sistem lama yang semakin tak efektif selain
anak-anak hari ini. Sesuatu yang mereka dapati, yang mereka pelajari sekarang,
menjadi hal yang akan menentukan kemana peradaban kita akan bergerak nantinya. Mereka,
para tabula rasa, hanya satu-satunya jalan kita untuk memperbaiki segala
kekacauan kita hari ini. Hanya satu-satunya
cara menyelamatkan dunia.
Tapi ketika itu semua tidak berhasil,
ketika satu-satunya yang kita warisi hanyalah kesalahan; dan ketika kenyataanya, dunia bukanlah tempat yang layak untuk ditinggali, saya hanya ingin mengucapkan sesuatu
yang pernah dituliskan Gie di buku hariannya, “nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan”
No comments:
Post a Comment