Interview
kecil oleh Ode Lampu Kota dan beberapa kawannya kepada saya via email. Teks
yang dicetak tebal adalah pertanyaan dari Ode Lampu Kota sedangkan yang dicetak
biasa adalah pernyataan-pernyataan saya. Untuk menikmati laman aslinya, silakan
jelajahi tumblr menariknya di odelampukota.tumblr.com
Halo! Kabar baik
Sejak kapan Anda jatuh cinta dengan
dunia visual art?
Sejak kapan ya? Hm.. mungkin sejak
gambar doraemon yang pernah saya bikin waktu saya duduk di kelas 1 SD dipuji di
depan kelas oleh guru kali ya. Dari sana saya jadi bener2 tahu hal apa yang bisa
membuat saya dipuji oleh orang lain sedangkan anak-anak yang lain tidak bisa.
Apa gambar yang pertama kali anda buat?
Kalo kumpulan garis random ngebentuk
benang kusut yang saya buat waktu saya masih kecil banget itu kita masukin ke
dalam pengertian gambar, berarti benang kusut itu jadi gambar pertama yang pernah
saya buat. Selebihnya saya gak inget apa-apa lagi soalnya.
Menurut Anda, art itu apa?
Waduh, berat banget ini haha. Soalnya menurut
saya sih sampai kapanpun, nemuin definisi yang pasti tentang seni (art) tetep
bakal jadi pekerjaan yang sangat mustahil. Karena ketika kita membuat sebuah definisi,
berarti kita sedang membuat sebuah batasan. Sedangkan seni sendiri adalah hal
yang sangat tidak terbatas, hal yang akan terus berubah dan hal yang sangat
erat kaitannya dengan pengalaman yang sangat personal.
Buat nyampe di pengertian yang mendekati
objektif, cara mudahnya mungkin saya bisa bersandar sama definisi yang udah ada
saat ini, atau juga saya bisa ngelacak dari segi akar bahasanya aja. Tapi ketimbang
memilih itu, saya sih sebetulnya lebih senang mengatakan bahwa mau diungkap
sebagaimanapun, seni buat saya tetep bakal jadi hal yang sangat misterius, hal
yang bisa membuat anda merasa mengerti sekaligus tidak mengerti di saat yang
bersamaan. Kesulitan pengungkapan definisi secara verbalnya membuat saat kita
nanyain “apa itu seni?”, sama aja kayak kita nanyain “apa itu rasa manis?”. Kalo
kita ngejawab manis itu adalah gula, itu bukan jawaban. Karena gula hanyalah
hal yang mengakibatkan rasa manis. Ia tidak dapat kita pahami sebelum kita benar-benar
merasakannya sendiri. Jadi kalo saya ditanya apa itu seni? Jawabannya yaa gitu
deh haha.
Karya
seni siapa yang pertama anda beli dengan Uang anda sendiri?
Belum
pernah ada. Sampai sejauh ini sih kalo liat karya temen yang saya suka, saya lebih
seringnya minta ato tukeran karya. Dulu waktu masih sering main sama
temen-temen di IKJ, UNS Solo ato ISI Jogja juga kadang gitu.
Rutinitas
melatih otak yang tidak pernah anda tinggalkan?
Rutinitas
apa ya, kayaknya aktivitas berpikir itu sendiri sih. Literally berpikir haha.
Ini sama kayak ikan yang ngejawab berenang pas ditanya hobinya apa sih
sebenernya, tapi ini emang beneran, saya emang seneng ama proses berpikir murni,
apapun itu bentuknya. Bikin pertanyaan sendiri jawab sendiri, bikin
pengandaian-pengandaian, manipulasi hal yang abstrak jadi alur cerita ato
visual, dan sebagainya. Dan manifestasi akhirnya bisa macem-macem, bisa berupa
tulisan, karya ilustrasi, video ato juga film.
Nasihat
apa yang anda telah ambil, namun tidak anda lakukan?
Sekali
berarti setelah itu mati. Gak saya lakuin soalnya saya bikin nasihat baru buat
saya sendiri, “Terus berarti setelah itu mandi” haha
Tanggapan
anda tentang nasionalisme & patriotisme?
Bukan
soal bendera, seragam atau juga lambang garuda di dada kalian. Lebih dari itu, nasionalisme
dan patriotisme adalah hal yang tumbuh ketika pertama kali kalian mengucapkan
“Ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk negeri ini”.
Menurut anda apa
Indonesia benar-benar negara multikultur?
Kalo
menurut teorinya sih iya. Indonesia punya beragam bentuk kultur, filsafat, suku,
agama, adat, bahasa, intonasi berbicara, kesenian dan sebagainya. Tapi kalo dalam
praktisnya, beberapa kasus masih nunjukkin kalo kita mungkin belum punya
pengertian itu. Kadang kultur yang satu, pemikiran yang satu (biasanya sih yang
jadi mayoritasnya), masih suka ngelakuin tindakan represif, masih suka
memaksakan definisi kebenaran milik mereka terhadap pemikiran yang lainnya. Dan
menurut saya sih, selama itu masih ada, sampai kapanpun kita gak bakalan nyampe
di pengertian yang utuh tentang konsep multikultural itu.
Apa
yang anda pikirkan ketika anda memikirkan Indonesia?
Sebuah
gubuk tua yang atapnya bocor, pondasinya udah rapuh banget dan kayu-kayu
penyangganya udah hampir habis dimakan rayap. Rumah yang sebetulnya gak layak
untuk ditempatin, tapi di sisi lain, dia adalah tempat saya dilahirkan, tempat
saya dibesarkan dan bakal jadi tempat saya disemayamkan nantinya.
Apa
tanggapan anda tentang menjamurnya sifat konsumtif dan gagap budaya di kalangan
remaja Indonesia?
Sifat
konsumtif bisa jadi sesuatu yang positif asal dibarengin sama kecintaan kita sama
produk-produk milik negeri sendiri. Selebihnya, tanpa itu, sifat konsumtif
menurut saya cuma bakal jadi hal yang menjijikkan.
Kalo
soal gagap budaya, saya masih gak ngerti gimana kongkritnya. Tapi yang pasti, karena
saya bukan orang yang konservatif, saya sih setuju2 aja kalo bentuk-bentuk
budaya memang harus selalu berubah, harus selalu disesuaikan dengan apa yang
terjadi hari itu, dengan catatan bahwa dia gak kehilangan nilai yang
dikandungnya. Jadi seandainya remaja-remaja kita jauh lebih bisa memahami nilai
penghormatan kepada ibu dengan menonton film Hello Ghost ketimbang mendengar
cerita Malin Kundang, lebih bisa memahami nilai kebersamaan dengan bermain band
ketimbang bermain angklung, tanpa bermaksud untuk menggeser bentuk-bentuk lama,
menurut saya sih hal-hal itu sah-sah aja asal bukan bentuk yang kosong nilai aja
pokoknya.
Pesan
untuk remaja Indonesia?
Plis
manfaatin salah satu organ yang dianugerahkan Tuhan untuk kalian bernama otak itu
(letaknya ada di dalam tempurung kepala kalian kalo kalian gak tau). Karena kalo
udah kayak gitu, saya yakin banget banget banget nih, kelebihan hormon dan tenaga
yang kalian punyai saat ini, gak bakalan jadi hal yang bakal dianggap sampah, merugikan
orang, gak bakalan jadi boomerang untuk kalian buat dianggap sebagai generasi
yang gagal.
Berlebihan?
Ya udah, pesannya be yourself aja.
Oke,
last words?
Word
***
dan pertanyaan dari teman-teman ODE LAMPU KOTA :
Sudah
punya pacar? (Ade Radinal)
Belum.
Pacaran punya resiko emosional yang tinggi banget. Buat saya yang sangat perasa,
hal itu jadi sesuatu yang sangat membahayakan. Makanya ampe sekarang, saya
lebih milih gak pacaran dan fokus berkarya aja.
(Boong
ding, alasan sebenernya sih gara-gara gak laku aja haha)
Seni
Rupa di Indonesia pernah jaya dizaman Raden Saleh. Nah, dengan berkembangnya
zaman,
Apakah
Indonesia bisa kembali ke jaman itu dimana Seni Rupa bisa menjadi Primadona
lagi di era sekarang ?
Menurut
saya sih bisa. Kapannya itu yang gak tau haha.
Tapi
yang lebih penting sih menurut saya ya rumusan kejayaan yang dimaksudnya itu
dulu. Kalo kongkritnya itu adalah pasar, mungkin sekarang kita bisa sedikit
berbangga, pasalnya setelah sekian tahun memasuki era kontemporer, beberapa kali
dilaporkan bahwa pasar kita semakin membaik. Selain itu juga, di kancah seni
rupa Asia, Indonesia juga pernah tercatat sebagai negara terproduktif bersama
China dan India. Tapi seandainya kejayaan yang dimaksud itu berarti anak TK
bercita-cita jadi seniman, tukang becak tahu karya Jompet, seni jauh lebih
efektif menyadarkan ketimbang khutbah jumat, kehidupan seniman masuk
infotainment, berarti perjalanan kita masih sangat kompleks. Kita butuh Museum,
tempat karya dapat dilegitimasi dari “isi”nya. Bukan pasar yang selama ini
melegitimasinya sebagai barang jualan.
Di
jaman sekarang, masih banyak orang yang beranggapan bahwa seni rupa adalah
jurusan remeh dimana masa depannya untuk 'karir' kurang jelas, apakah ini
berpengaruh juga terhadap perkembangan seni di Indonesia? (Wildan Hafidz)
Menurut
saya sih iya. Tapi ketimbang sebagai sesuatu yang bersifat linear, saya lebih melihat
keduanya sebagai sebuah hubungan sebab akibat yang melingkar. Anggapan remeh
terhadap jurusan seni mengakibatkan tersendatnya perkembangan seni rupa sebagai
wilayah karir, dan tersendatnya perkembangan seni rupa sebagai wilayah karir
juga mengakibatkan jurusan seni rupa dianggap remeh. Pemecahannya? Perlu ada
bagian khusus menurut saya untuk membahas ini. Tapi yang jelas, harus ada
pergerakan diantara keduanya, antara institusi akademis sebagai produsen dengan
medan sosial seni sebagai wilayah yang akan mencerap itu.
Bagaimana
pandangan/pendapat Anda tentang seni untuk seni dan seni untuk
rakyat? (Gery Paulandhika)
Pernyataan
saya tentang posisi seni mungkin sedikit di luar itu dan gak tau masuk ke
bagian yang mana. Ketika perdebatan selalu nempatin keduanya sebagai pilihan, antara
otonomisasi atau keberpihakan, kerja pertapa atau aktivisme, buat saya sebetulnya
seni itu sendiri adalah pilihan. Penggunaannya erat dengan pertimbangan
efektivitas penyampaiannya. Jika pemikiran jauh lebih bisa dirangkum dengan
tulisan, maka menulislah; atau buatlah musik, video atau juga film ketika itu
jauh lebih efekif. Bahkan ketika cukilan kayu pun tak lebih berguna ketimbang
ikut mencangkul bersama petani, maka mencangkullah saat itu juga. Buat saya bukan
seni yang harus berguna. Senimannya yang harus berguna.
Apa
yang selalu menginspirasi Anda? (Iqbal 'SMANE TWO')
Pengalaman
pas SMP mungkin ya. Pas waktu saya sekolah di sekolah swasta di daerah pasar, tempat
saya kenal ama banyak anak yang bermasalah secara moril dan materil, gangster2 yang
suka nge-drugs di sekolah, ketua OSIS yang abis sekolah harus jualan kelapa
buat bayar SPP, anak tukang becak yg abis lulus milih buka tempat tambal ban,
anak pinter yang tiap mau ujian kartunya ditahan gara2 nunggak SPP dan
sebagainya. Pengalaman2 itu termasuk yang banyak ngebentuk saya ampe hari ini.
Cara pandang saya, prinsip hidup saya, cara saya memilih sesuatu dan
sebagainya.
Ten
wishlist sebelum meninggal? (Azka)
Sebenernya
selama ini saya cuma punya 2 hal, bikin film panjang sama bikin sekolah gratis.
Tapi kalo ditanyanya 10, sisanya sih mungkin; ngobrol sama Kang Herry Sutresna
aka Ucok Homicide, kuliah S2 film di Inggris, ngebukuin blog, jalan-jalan ke
Tibet, nyanyiin lagu “anak merdeka” bareng Marjinal, nonton konsernya Fleet
Foxes, dipeluk elda Stars and Rabbit sama bikin time capsule di Mahameru.
Kebahagiaan
itu apa menurut Anda? (Nauval Firdaus)
Kebahagiaan
menurut saya adalah ketika ada orang lain yang bilang makasih sama kita. Kadang
saya jadi altruistik banget gara-gara pengertian itu. Tapi emang menurut saya
sih cuma ini satu-satunya waktu saat saya bisa ngerasa jadi berarti, ngerasa kelahiran
dan kehidupan saya yang selalu saya pertanyain ini, gak jadi hal yang sia-sia.
Seberapa besar pengarus institusi
pendidikan dalam mendukung kesenimanan Anda & seberapa besar institusi
pendidikan mendistorsi kreativitas Anda? (Ellena Ekarahendy)
Dua-duanya sama besar sih menurut saya.
Atmosfir kreatif yang dibangun di dalamnya mendukung kreativitas, tapi di sisi
lain, peraturan dan sistem pengajarannya juga kadang menekan hal itu. Tapi buat
saya yang terbiasa dengan keterbatasan, yang percaya bahwa kreativitas itu gak
dateng kalo kita cuma jalan di jalan yang lurus dan mulus, kalo kita maen bola
tapi gak ada lawannya, segala peraturan institusi akademis yang membatasi gerak
kita itu sebetulnya juga mendukung kreativitas kita. Tikus yang kandangnya
diberi banyak rintangan, terbukti memiliki struktur otak yang jauh lebih cerdas
dibanding tikus lain yang hidupnya cuma dikasih enaknya aja. Jadi misalnya ada
yang ngeluh-ngeluh kalo institusi pendidikan itu ngebatasin, saran saya sih
nikmatin aja.