Ia berjalan setengah berlari.
Berhenti di sebuah tempat dan kemudian menggali tanah yang diinjaknya dengan
kedua tangannya. Sesuatu diangkatnya. Kain putih. Yang lalu ia bawa ke arahku sambil
kemudian berkata,
“Tembok-tembok
kita, peradaban kita berdiri diantara kerangka-kerangka ini. Proklamasi,
revolusi, suksesi orde dan reformasi. Kau harus tahu harga itu. Supaya kau tahu
nilai setiap saat kamu berpijak di atasnya. Sejarah kita hari ini.”
Ia nampak bergegas. Tapi aku
ingin sekali memintanya untuk menunggu sebentar lalu kemudian mulai berbicara
tentang cinta dengannya. Tapi ia mengingatkan,
“Di
negeri ini, cinta itu politis. Kau tidak bisa membicarakannya sebelum kau
membayar sejumlah uang ke ratusan meja birokrasi itu. Sebelum lembaga sensor
memberikan definisi yang tak bisa kau ubah lagi. Dan sebelum pemilu menentukan
siapa yang berhak mendapatkan cinta itu.”
Ia memberikan kain itu. Lalu
pergi melanjutkan. Tapi aku masih saja ingin menahannya,
“Aku
selalu suka dengan bagaimana kau memperlakukan rambutmu seperti itu. Mengikat
bagian pinggirnya dan membiarkan rambut belakangmu terurai seperti itu” kataku.
Ia berbalik. Dan tersenyum
dengan senyuman paling indahnya,
“Temui
aku di negeri lain.”
No comments:
Post a Comment