Sabtu sore minggu lalu, sebagai salah
seorang penerima beasiswa, saya diundang oleh para pendonor dan lembaga
pengurus ikatan orangtua mahasiswa kampus untuk menghadiri suatu pertemuan di
sebuah café di bilangan Dago. Walaupun sebetulnya saat itu saya sudah berjanji
untuk membantu kawan saya yang hendak sidang dua hari berikutnya, dan sebetulnya
juga saya pun tidak begitu tertarik dengan pertemuan yang nampaknya hanya akan
berupa basa-basi itu; tapi kenyataan bahwa saya sedang membutuhkan dana untuk
sebuah project film, mengharuskan saya untuk datang ke sana mengingat bahwa
pertemuan tersebut bisa jadi adalah kesempatan terbesar saya untuk bertemu
dengan para konglomerat yang mungkin bisa menjadi donatur project saya nantinya.
Maka akhirnya saya memutuskan untuk berada di sana, di antara sembilan
mahasiswa, enam pendonor dan tiga pengurus lembaga itu.
Kami memesan makanan, memperkenalkan diri, mulai
berbincang kecil; dan pada satu bagian obrolan, salah satu pengurus lembaga
menceritakan berbagai macam pengalamannya menghadapi mahasiswa. Salah satu yang
mengejutkan, selain cerita tentang terbongkarnya mahasiswa petualang beasiswa
berpenghasilan lebih dari 10 jt per semester, adalah kisah tentang seorang anak
tukang becak dari daerah Jawa Timur yang sampai saat ini masih menjadi
mahasiswa ITB. Begitu lulus sekolah menengah, untuk hanya bisa membeli selembar
formulir ITB yang memang relatif lebih mahal di banding formulir PTN lainnya, ia
harus mengumpulkan uang dengan menjadi kenek bus kota selama satu tahun. Dan setelah
diterima pun, untuk bisa membayar biaya kuliah dan bertahan hidup di Bandung,
ia juga masih harus berjuang merangkak dari beasiswa ke beasiswa, menjadi
seorang pengajar les dan bahkan menjadi seorang buruh cuci di beberapa rumah. Tapi
di samping itu semua, lebih mengejutkan ketika tahu bahwa di tengah
keterbatasan fasilitasnya itu, waktu-waktunya itu, semester lalu ia masih mampu
mendapatkan IP 3,85. Sesuatu yang akan membuat kalimat “IP bukan segalanya” nampak hanya menjadi pembenaran untuk
anjing-anjing pemalas saja buatku.
Itu hanyalah salah satu diantara
kisah-kisah dari pengurus lembaga; selain kisah tentang anak seorang penjaga SD
yang seringkali bolos kuliah lantaran tidak memiliki ongkos, kisah seorang anak
petani, seorang yatim piatu dan lain sebagainya; yang hari itu menghantam
pikiran saya. Memukul malu niatan awal saya dan menjadi jauh lebih keras ketika
sadar bahwa kisahnya hadir di antara kenyataan-kenyataan ITB hari itu; deretan
mobil mewah milik mahasiswa yang semakin menyesakkan, biaya pendidikan yang
terus meningkat, dan wajah-wajah mahasiswa yang nyaris tak berbeda dengan wajah-wajah
kampus sebelah. Elitisme itu, menarik saya menuju sebuah opini yang mengatakan
bahwa “ITB telah kehilangan
kemistikannya”. Ia tidak lagi
menjadi tempat jutaan mimpi pelajar-pelajar tangguh berlabuh. Alih-alih itu, ia
kini hanya diisi oleh pecundang-pecundang yang ingin bersembunyi di balik segala
reputasi cerah sang gajah dan lalu dengan arogansi “aku pemenang atas 10 anak paling cerdas lain“ nya, merasa layak
mendapat segala sanjungan sekalipun yang dilakukannya hanya nongkrong tidak
jelas.
Pada akhirnya, kejutan kisah itu, telah memberi
saya sedikit kebingungan bersikap. Antara miris atas kesulitan yg dimiliki
kawan-kawan itu, atau senang karena artinya kampus ini belum kehilangan mahasiswa-mahasiswa
tangguhnya. Tapi entah apapun, hari itu kisah-kisah itu benar-benar telah
menampari saya dengan telak; dan barangkali juga menampari anda serta siapapun
yang menolak untuk bertaruh lebih pada sesuatu, mimpinya dan keyakinannya. Kisah-kisah
itu, lebih dari sekedar obrolan kecil seorang petugas lembaga beasiswa, ia
menjadi alasan terbaik yang pernah saya dapatkan untuk tidak menyia-nyiakan
kesempatan apapun. Bahwa ketika kita masih saja merengek, masih saja beralasan
untuk tidak bertarung bahkan untuk dirinya sendiri sekalipun; kawan kita yang
lain, masih harus merangkak, bertaruh di jalanan untuk membeli sebuah
kesempatannya.
***
Aku melihat ke dalam tasku. Beberapa dokumen
project yang sebelumnya ingin aku perkenalkan, nampak akan menjadi hal yang
paling memalukan di dunia ini jika aku benar-benar menggunakan isi saku pendonor
beasiswa ini untuk merealisasikannya.
Aku menahannya dan terus berpikir.
Nampaknya aku memang harus belajar
merangkak.