INT.
RUMAH BILIK, MALAM HARI
Di
dalam sebuah ruang yang tak begitu besar,
bersekat lembaran-lembaran bilik,
seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya
tengah berbaring santai di atas tikar.
Menatapi langit-langit rumah mereka yang nampak rusak.
Sambil mendengarkan sayup-sayup takbir
yang terus bersahutan menyambut Idul Adha di keesokannya.
bersekat lembaran-lembaran bilik,
seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya
tengah berbaring santai di atas tikar.
Menatapi langit-langit rumah mereka yang nampak rusak.
Sambil mendengarkan sayup-sayup takbir
yang terus bersahutan menyambut Idul Adha di keesokannya.
Anak
:
“Mengapa
tahun ini kita tidak membeli hewan ternak
untuk dikurbankan lagi Ayah?”
untuk dikurbankan lagi Ayah?”
Ayah
:
“Maafkan
Ayah nak. Ayah masih belum mampu
membeli satupun hewan kurban.”
membeli satupun hewan kurban.”
Anak
:
“Tapi
aku takut Ayah, jika Tuhan akan membenci kita
seandainya kita tidak pernah melakukan kurban barang sekalipun.”
seandainya kita tidak pernah melakukan kurban barang sekalipun.”
Ayah
:
“Mengapa kau berpikiran begitu?
Bukankah selama ini pun kita selalu berkurban.
Bahkan sesuatu itu jauh lebih baik ketimbang
berkurban jutaan ekor sapi sekalipun.”
Bukankah selama ini pun kita selalu berkurban.
Bahkan sesuatu itu jauh lebih baik ketimbang
berkurban jutaan ekor sapi sekalipun.”
Anak :
“Benarkah Ayah?
Memangnya apa yang selalu kita kurbankan itu Ayah?”
Memangnya apa yang selalu kita kurbankan itu Ayah?”
Ayah
:
“Keinginan
kita atas dunia, Anakku.
Tak banyak yang mampu mengorbankan itu.”
Tak banyak yang mampu mengorbankan itu.”
No comments:
Post a Comment