Cukup
sulit menemukan waktu untuk membuat postingan blog dalam beberapa minggu
belakangan ini. Selain beberapa kesibukan akademik yang banyak menyita paksa
waktu-waktu dan tenaga saya, kegiatan-kegiatan lain diluar itu - yang juga rupanya berhubungan dengan penulisan
dan story telling – ikut menghabiskan
ide-ide saya untuk membuat sebuah tulisan. Dan salah satu kesibukan gila itu
adalah membuat sebuah film pendek.
Terhitung
kurang lebih sejak dua minggu terakhir di bulan September, hingga saat tulisan
ini dibuat, proses pembuatan film itu sudah dimulai dan bahkan masih berjalan. Sepanjang
proses itu, agaknya saya dapat mengatakan bahwa pembuatan film tersebut - sekalipun
hanyalah film dengan durasi yang mungkin tak lebih dari 15 menit – adalah film
terberat yang pernah saya dapatkan sepanjang keterlibatan saya dalam produksi
video dan film manapun. Selain alasan-alasan teknikal yang terus muncul seiring
tingginya tuntutan kualitas, alasan-alasan moril yang banyak menciptakan letupan-letupan
emosional, juga menjadi alasannya. Pada bagian terparahnya, keduanya kadang
membuat saya menjadi terlalu melankolik dan dramatik. Terlebih lagi jika mengingat
bahwa menyutradarai sebuah film adalah sesuatu yang paling ingin saya lakukan
dalam sepanjang hidup saya, sejak lama sekali.
Dan
barangkali karena keterlibatan emosional saya yang sangat besar di dalamnya itulah,
saya jauh lebih bisa memaknai banyak hal disitu. Terlebih lagi adalah soal anak-anak.
***
Kebutuhan
akan kehadiran anak-anak dalam film pendek yang tengah saya buat ini, menuntut
saya untuk bolak-balik berurusan dengan banyak anak berbagai usia dari dua
komunitas yang berbeda. Komunitas pertama adalah lembaga non formal yang berada
di bilangan dago pojok. Sedangkan yang kedua adalah komunitas anak-anak jalanan
yang dikelola oleh sepasang suami istri di daerah dago bagian atas. Dan
menariknya adalah, keduanya memiliki kejutannya masing-masing, yang
mempertemukan saya pada titik-titik yang saya definisikan sebagai kegagalan
saya dalam film ini. Anak-anak dago pojok yang sangat liar dan sulit diatur menjadi
kejutan pertama. Sedangkan kejutan kedua datang dari komunitas berikutnya
ketika saya harus berhadapan dengan seorang idealis garis keras berkecenderungan kiri yang menolak
mentah-mentah skenario film yang saya tawarkan; ia seorang nihilis, tidak
mempercayai nilai-nilai apapun, termasuk nilai-nilai dalam film ini yang dia
bilang hanya omong kosong saja. Pada satu bagian pembicaraan, ia bahkan pernah
menuduh saya hanya mengeksploitasi anak-anak jalanan saja. Mengejutkan sekali!
Tapi
bukan kejutan-kejutan itu poinnya, walaupun juga keduanya pun sebetulnya dapat
menjadi suatu statement, tapi maksud saya, proses panjang yang telah saya lalui
tersebut; berhadapan dengan berbagai anak dengan latarbelakang ekonomi, sosial
dan budaya yang berbeda-beda; mengenal karakter mereka; berbicara dengan
mereka, beberapa tentang prestasi mereka, hobi mereka, perkelahian, kondisi
keluarga, dunia jalanan, dan sebagainya; secara tidak sadar memberikan saya
sebuah rangsangan berpikir tertentu. Saya menjadi sering memperhatikan setiap anak-anak
kecil yang saya temui, di mana saja. Kapan saja dan tanpa terlewat. Memperhatikan
apa saja yang mereka lakukan. Menangkapi citra-citra mereka sebagai sebuah potongan adegan yang siap dimainkan di hadapan saya.
Ia
berupa seorang anak perempuan yang menciumi dengan kagum bunga-bunya yang
tengah dijualnya di sebuah pinggiran jalan; Ia anak yang tengah bermain tablet,
di depan rumahnya saat ayahnya tengah berbincang kecil dengan tetangganya; Ia sepasang
adik dan kakak yang nampak belum genap berumur 5 tahun, berlarian di balik-balik
mobil yang tengah berhenti, di sela-sela mengamennya; Ia pemulung kecil yang memasuki
sebuah kampus elit, sedang mengumpulkan sampah-sampah plastiknya dan tersenyum
saat seseorang menyapanya; Ia bocah laki-laki yang tengah sibuk dengan
mainannya, tatkala sang ibu masih perlu menikmati satu menu favoritnya lagi; Ia
anak penjual tisu, yang sedang memperhatikan sebuah keluarga kucing tengah
menyantap sisa makanan di bawah meja kantin; dan ia seorang anak laki-laki
berkaos Persib, yang tengah membuat sebuah gambar di atas aspal jalan dengan
kapur yang baru saja ia temukan.
Dan
saya terus memperhatikan itu. Tanpa tahu apa yang sedang saya cari dari mereka.
Apa yang sedang saya nikmati dari mereka. Sesekali waktu, lagu sore di tugu
pancoran milik iwan fals membawa pikiran-pikiran saya berlabuh pada
persoalan-persoalan sosial atau juga ekonomi tentang mereka. Kadang juga ia muncul
sebagai sebuah kegelisahan atau kemarahan, saat kegagalan para orang tua
terlalu dapat terlihat jelas untuk disalahkan. Atau kadang juga, ia menjadi
sebuah kesadaran bahwa pada titik-titik tertentu anak-anak kecil buat saya nampak
seperti sesuatu yang memiliki frekuensi yang sama. Pemimpi-pemimpi besar,
manusia-manusia yang tak mengenal konsep kegagalan, sebuah keceriaan,; sesuatu yang selalu ada sekalipun dengan kondisi, latarbelakang dan nasib yang berbeda.
Tapi
ringkasnya, dengan memperhatikan mereka seperti itu, pikiran saya seperti dibuat
menjelajahi banyak hal. Melayang-layang di bagian yang senyap, hingga menukik
ke bagian-bagian yang lebih radikal dan tajam. Semuanya bercampur dan menjadi
jauh lebih emosional. Terlebih jika mengingat bahwa anak-anak kecil ini, suatu
saat akan tumbuh menjadi orang-orang dewasa. Para pengisi peradaban, yang di tangan
merekalah, dunia berikutnya akan dibentuk. Pembaharu, saat orang-orang tua
telah sebelumnya mengacaui dunia. Dan di saat–saat seperti itu, entah
bagaimana, saya seperti ingin sekali merendahkan kepala saya dihadapan
anak-anak kecil ini. Menciumi kaki-kaki kecil mereka sambil terus memohoni
mereka.
“Tumbuhlah dengan baik dik.
Aku bertaruh dunia padamu”
***
Kadang
saya pun masih berpikir, ini mungkin hanya proses pembuatan sebuah film saja.
Bagian yang terlalu dibuat hiperbolik darinya. Tapi disisi lain saya pun menyadari
betul bahwa makna mendalam dari sebuah proses, apapun itu -- saat ia telah dapat dikatakan
sebagai bentuk pendewasaan bagi siapapun yang terlibat didalamnya -- muncul pada
kesadaran-kesadaran seperti ini. Saat kita telah dapat melihat jauh ke balik
hal-hal yang ada di depan kita. Lapisan-lapisan terdalam lainnya, yang menempai kita, hingga mengantarkan kita pada temuan-temuan yang mencerahkan darinya. Sesuatu yang menembus jauh dari definisi karya itu sendiri. Sebuah cara kita untuk memaknai kehidupan kita.