Baru saja petang sampai pada tiga
perempat langit, dua pengendara motor yang tak dikenal itu tiba-tiba datang
menghampiri. Memperlihatkan sebilah pisau yang dibawanya lalu meminta beberapa
rupiah dan barang dari kantongku. Tak seberapa jumlah yang hilang diambilnya.
Karena pikiran yang mendesakku setelahnya, jauh lebih menyita perhatianku.
-----
Kriminalitas. Sebuah istilah yang dimengerti sebagai
pelanggaran hukum, buatku lebih terdengar seperti sebuah kegagalan sosial. Kegagalan
sistemnya. Lihatlah mereka. Merampok, mencuri, merampas, mengeroyok,
memperkosa, mengacung-ngacungkan celurit dan samurainya, membacok siapapun
secara acak, mengklaim penguasaan atas sebidang wilayah. Atas pasar, jalanan,
sekolahan atau tempat-tempat apapun yang mereka anggap dapat memenuhi kebutuhan
mereka atas hasrat berkuasa. Raja?, Tidak. Mereka cacat.
Aku pernah menemukan opini tentang itu. Yang menyatakan
bahwa kriminalitas dibentuk oleh desakan ekonomi. Opini lainnya mengatakan, ia
dibentuk oleh ruang-ruang ekspresi yang terlalu birokratif. Persoalan
aktualisasi diri.
Apapun itu, aku punya anggapanku sendiri. Bahwa mereka yang
memilih jalan kriminal untuk alasan apapun, buatku tak lebih dari orang-orang
lemah. Yang kesulitan menemukan definisi matang atas pengertian batasan dalam
hukum, juga atas pengertian salah satu konsepsi sosial budaya yang sering kita
sebut sebagai moral. Orang-orang yang kesulitan dalam mengontrol kesenangan
dalam motivasi-motivasi biologisnya. Yang terlampau khusyu’ memberhalai seks
atau barangkali penguasaan wilayah dibanding kemampuannya dalam mencapai
pilihan-pilihan bijaksana lainnya. Sesuatu yang tak jauh berbeda dengan gejala-gejala
yang muncul pada hewan.
Dan lainnya lagi, alasan-alasan aktualisasi diri atau pengatasnamaan
kebutuhan ekspresi pun buatku tampak hanya sebagai pengertian-pengertian cacat
mereka atas definisi kebebebasan saja, sedangkan alasan keterpaksaan (biasanya
berhubungan dengan persoalan ekonomi), buatku hanya akan menunjukan besaran ketiadaan
keterampilan dan ketidakbergunaan mereka saja.
….
Aku cukup heran. Padahal aturan mainnya sederhana saja. Pertama,
kebebasan individu untuk memilih, bertindak dan bersikap; adalah tidak pernah
terbantahkan. Namun kesadaran atas kolektivitas hidup bersosial antar individu bernama
masyarakat, adalah landasan yang tak terelakkan juga. Bahwa kita hidup dalam
sebuah sistem. Sebuah saling keterhubungan. Sebuah aksi-reaksi. Lemparkan
ketengahnya sebuah pilihan apapun, tindakan apapun, sikap apapun, dan reaksi
akan segera terjadi. Kebijaksanaanlah yang dibutuhkan. Untuk membantu seonggok
daging ini menemukan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan kemanusiaannya atas
keterhubungan tersebut.
Kedua, jika kita telah mempercayai adanya kebebasan atas
diri kita, mau tidak mau kita telah mengakui adanya kebebasan atas diri yang
lain. Ada hak atas diri kita maka ada hak atas diri orang lain dan begitu
seterusnya. Pada giliran yang lain, sistem masyarakat tadi selanjutnya menjadi arena
pertemuan keduanya. Seandainya kita merasa memiliki hak untuk membunuh yang lain,
maka yang lain pun hakikatnya memiliki hak untuk tetap hidup. Begitulah
prinsipnya. Kebebasan orang lain adalah batasan untuk kebebasan kita.
Ketiga. Setelah sadar bahwa kebebasan itu omong kosong, pengakuan
atas adanya ide batasan menjadi hal yang mutlak. Bahwa selama seseorang yang
lain masih ada, selama kita masih hidup, batasan dan aturan akan selalu ada. Ia
menjelma. Menjadi adat istiadat, norma, tatakrama, hukum, agama dan lain-lainnya.
Mereka yang tak setuju dengan itu, sebaiknya memilih perubahan. Mereka yang ingin menghindari itu, sebaiknya memilih
mati saja.
Keempat, kita adalah manusia. Makhluk yang berbeda dengan
binatang. Ia dianugerahi sebuah kebijaksanaan untuk tidak hanya memikirkan
persoalan-persoalan vegetatifnya saja. Ia bukan seseorang yang memperkosa
perempuan di dalam angkot begitu nafsu seksnya muncul. Ia bukan seseorang yang mengaum
begitu binatang lain memasuki wilayah kekuasaannya. Ia bukan seseorang yang
akan membunuh ayah dan ibunya, atau juga anak-anaknya. Ia bukan makhluk yang
hanya berdiri di atas nafsunya saja. Ia bukan itu.
Tapi memang perlu diakui. Kesadaran itu memang tidak datang
pada semuanya. Aturan main itu memang tidak dapat dicerna dengan mudah oleh beberapanya.
Oleh mereka yang terlahir sebagai anjing-anjing kudis. Melembagai diri, melakukan
aksi-aksi destruktif atas nama ekspresi. Di atas segala ketidakmampuan mereka. Tanpa
inteligensi, tanpa kecerdasan untuk memilih. Mereka para binatang di dalam
hutan. Tapi para kriminal di dunia manusia. Kelahiran mereka adalah sesuatu
yang tidak diperlukan.
Siapa yang bertanggung jawab atas itu? Semua perangkat? Ya. Para
pemegang otoritas kepemerintahan, para penegak hukum, dan perangkat sosial
termasuk kita. Atas diri kita sendiri dan atas orang lain juga. Perlu kita
sadari ini. Semuanya bercelah. Semuanya rusak. Lihatlah itu. Kondisi ekonomi
masih belum bisa mensejahterakan semuanya. Sedang mereka yang kelaparan
terlanjur kalap untuk memikirkan mencari pekerjaan pada lapangan yang terlalu
sempit itu. Hukum berkali-kali terbukti kehilangan taringnya. Dan keamanan terlalu
lemah untuk meneruskan begitu adzan maghrib berkumandang. Meninggalkan jalanan
malam yang dibiarkan me-rimba sepeninggalnya. Di bagian yang lain, penjara pun
tak lagi mampu memberikan efek jera. Ia kehilangan dimensi pembersihannya. Alih-alih
mencetak manusia baru, suhu kriminalitas ruang tersebut malah hanya akan
menciptakan binatang-binatang baru. Ya, kebun binatang!.
Ketidakseimbangan demografi. Jumlah laju pertambahan
individu tidak memadai untuk dijejalkan pada infrastruktur-infrastuktur yang
tersedia. Terjadilah ketidakmerataan kesejahteraan, pendidikan, ekonomi. Mereka
yang melewatkan itu, hanya akan tumbuh menjadi individu-individu prematur. Pihak-pihak
yang akan kalah dalam perebutan pekerjaan. Dan kita akan tahu kemana mereka
akan berlari selanjutnya. Jalanan.
Sedang rumah tak sedikit yang menyesatkan. Karena terbukti tak
sedikit juga, para orang tua yang hanya ingat untuk membuat anak tapi lupa
untuk mendidik mereka. Teriaki telinga-telinga busuk mereka. Better parent, better generation!!
….
Ini persoalan moral. Ya. Kriminalitas bukan persoalan kecerdasan
atau persoalan ekonomi saja. Karena rupanya, gelar tinggi atau juga jumlah
kekayaan seseorang, tak menyulutkan seorang pebisnis kaya untuk menghabisi
lawan bisnisnya, seorang pejabat untuk mengancam akan menghabisi bawahannya atas
penelanjangan konspirasi aksi korupsinya. Maka perkara meredam tindak kriminalitas
dengan mengefektifkan tiga sumber konvensi moral barangkali menjadi penawaran
yang cukup tepat buatku. Adat istiadat, negara dan dekrit Tuhan.
Adat istiadat, seperti apa yang dinyatakan oleh Spencer,
Nietzsce dan Marx, merupakan salah satu sumber moralitas yang menentukan hukum
dalam suatu masyarakat sosial tertentu.
Negara, menurut Hobbes dan Rousseau, merupakan sumbar moralitas berikutnya. Bentuknya
adalah hukum negara beserta segala perangkatnya. Untuk hal tersebut, negara
bertanggungjawab atas implementasinya.
Dekrit Tuhan, atau yang kita pegang sebagai agama.
Segala sumber konvensi moral tersebut memiliki hakikat pemegang
tanggungjawab pelaksanaannya. Tapi pada prakteknya, kesadaran atas
moralitas-moralitas tersebut terutama agama, seharusnya turut dibangun juga oleh
seluruh perangkat sosial seperti keluarga, sekolah, pergaulan sosial,
pengajian, aparat keamanan dan sebagainya. Pengefektifan perangkat-perangkat
tersebut selanjutnya akan sangat memungkinkan terjadinya penekanan angka
kriminalitas yang menjijikkan itu.
Tapi seandainya itu tidak terjadi, barangkali aku memang
harus menanyakannya pada Pak Harto. Ia pernah punya caranya. Sebuah nama.
----
Kita adalah generasi pasca reformasi.
Anak-anak yang terbangun saat ekspresi
telah dapat dirayakan bersama.
Saat pemikiran telah dapat
disatumejakan bersama tanpa senjata.
Tapi sebuah definisi yang lain rupanya ikut
terlahir.
Mereka yang telah salah mengartikan
kebebesan itu.
---
sumber foto : mediapalu.com
editing : kontemplasi diagonal