Dalam beberapa hari belakangan ini, saya sedang menyengajakan
pulang berjalan kaki lewat gerbang belakang kampus. Ada hal yang cukup
mengganggu saya di sana. Penggusuran PKL liar di sekitar jalan Dayang Sumbi. Warung
makan, kios, tempat foto kopi dan seterusnya. Dramatis. Lalu fakta itu muncul
kembali, sebuah keputusan hampir tak pernah bisa memuaskan kedua belah pihak.
Maka, benturan-benturan itu menjadi tak bisa dihindarkan. Dan notasi-notasi itu
pun mulai dinyanyikan. “Kami juga butuh makan Pak” , “Maaf, Kami hanya
menjalankan tugas”.
Saya berusaha netral dan tidak sedang berusaha mengkritik
penggusuran, atau juga sedang berusaha menyalahkan keberadaan bangunan-bangunan
itu. Karena seperti biasa, saya tidak pernah ingin menjebak sebuah pembicaraan
pada persoalan mana yang benar dan mana
yang salah saja.
Dan pemetaannya seperti ini. Bangunan liar berdiri dengan
menyalahi aturan dan satpol PP datang untuk menerapkan kembali aturan. Berhenti
pada premis-premis ini, maka tidak ada yang salah dengan penggusuran manapun.
Relokasi? Atau nasib para pedagang? Soal ini, otoritas pemerintah dan kampus
cap gajah duduk lebih memilih saling lempar. Hasilnya? Ketidakjelasan post
produksi. Barangkali pemerintah terlalu bosan menangani orang-orang ini. Sedang
“Si Gajah” terlanjur duduk nyaman, untuk kemudian memilih “Di luar tempat gue,
bukan urusan gue”. Satu celah ini yang selanjutnya perlu diperhatikan pertama.
“Ngapain sih masih
dibela? Udah tau mereka itu salah”. Cukup mengejutkan bahwa seseorang masih
saja menyuarakan kalimat menjijikkan itu. Sebagai analogi. Apa yang akan
dilakukan seandainya kita menemukan seseorang tengah terluka parah dan tergeletak
di tengah jalan akibat tertabrak mobil setelah ia menyebrang jalan dengan
aturan yang salah? Apakah lantas kita akan mendekatinya dan berkata “Lu sih
nyebrangnya salah”? Atau mungkin membiarkannya saja karena yang ditabrak adalah
pihak yang dianggap salah? Menurut saya sih tidak begitu. Kecuali jika kita ini
goblok. Ini soal menjadi manusia. Soal merasakan. Bukan cuma soal berpikir
logika mana yang benar dan mana yang salah. Ini soal bagaimana sebaiknya. Hukum
dan aturan cuma teori. Ia tak lebih dari sebuah panduan saja.
Lalu apakah penggusuran ini ataupun penggusuran-penggusuran
lainnya adil? Buat saya sih semua ini belum adil, selama penggusuran itu hanya
terjadi pada pedagang kecil dan bangunan-bangunan kumuh saja. Karena buktinya,
selalu saja pemerintah tidak berkutik menangani bangunan-bangunan mewah yang
menyalahi aturan penataan kota. Hasilnya, apartemen itu masih berdiri dengan
melebihi aturan ketinggian bangunan kota bandung dan lahan hutan kota siliwangi itu masih
terus dilahap pembangunan hotel itu. Barangkali untuk sebuah kegoblokan, uang memang berbicara terlalu banyak.
Saya cukup menyesalkan tidak berbuat apa-apa hingga hari
ini. Setidaknya pada pemilik warung kopi yang dulu sering saya kunjungi itu.
Tapi cukup melegakan juga. Karena sepanjang saya melewati tempat itu, ada saja
orang-orang yang entah mengatasnamakan himpunan, mahasiswa atau bukan, yang
masih mendampingi para pedagang itu. Lalu saya hanya berjalan melewatinya saja.
Tidak apa. Biar ini jadi hutang sosial saya. Suatu saat akan saya lunasi.
sumber foto : kabarkampus.com (LFM ITB)
editing : kontemplasi diagonal