Pada zaman
dahulu hiduplah seorang penggembala miskin namun hatinya dipenuhi oleh kecintaan
kepada Tuhan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menggembala ternak melewati
lembah, ladang dan gurun dengan bibir yang tidak pernah berhenti mengucap
tentang Tuhan.
Suatu haru, Nabi
Musa a.s tengah berjalan melewatinya dan menemukan sang gembala tersebut tengah
beristirahat di tengah ternaknya. Kepalanya mendongak ke langit dengan
terdengar bibirnya mengucap ucapan-ucapan untuk Tuhan,
“Duhai pangeran tercinta, dimanakah Engkau? Supaya
aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu, supaya aku bisa menjahit
baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu dan mempersiapkan ranjang-Mu. Dimanakah Engkau? Supaya
aku bisa menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu. Dimanakah Engkau? Supaya aku
bisa menyilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu."
Musa a.s yang
cukup penasaran dengan penggembala tersebut segera mendekatinya dan bertanya,
“Dengan siapa kamu berbicara?”
Sang penggembala
tersebut menjawab,
“Dengan Dia yang telah menciptakan semesta
ini.”
Nabi Musa a.s
murka mendengar jawaban penggembala tersebut,
“Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan
seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal
mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu!”
Sang gembala
bergetar ketakutan sambil terus mendengarkan Musa yang tengah murka kepadanya,
“Apa menurutmu Tuhan adalah seorang manusia
biasa sehingga Dia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apa menurutmu Tuhan
adalah seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya tumbuh besar? Tentu saja
tidak! Tuhan Maha Sepmurna di dalam diri-Nya. Dengan berbicara kepada Tuhan
seperti itu, kau tidak lain dari seorang penghujat agama,”
Mendengar semua
itu, air mata sang penggembala pun mulai mengalir deras sambil dengan segera
pergi meninggalkan Musa.
Dengan perasaan
bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa a.s melanjutkan
perjalanannya menuju kota. Namun tiba-tiba Allah Yang Maha Kuasa menegurnya,
“Mengapa engkau berdiri di antara Kami
dengan kekasih yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang
dicintainya? Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar
yang tidak memiliki makna apa-apa. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata.
Yang Aku perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu.”