Tulisan tentang kerja editing sebetulnya sudah lama sekali ingin saya buat,
namun atas segala keterbatasan saya - dan terlebih bahwa ketidakpuasan pada
video campaign yang memuat diri saya baru-baru ini - akhirnya keinginan itu
baru merasa terdesak untuk dituangkan di belakangan ini. Saya ingin bercerita
sedikit tentang video tersebut untuk mengawali. Yaa selain untuk semacam konfirmasi
barangkali bisa sedikit menjadi contoh kasus kecil juga.
Jadi sekitar beberapa minggu lalu, saya dihubungi melalui teman saya untuk
sebuah interview sebagai seorang videographer. Singkat cerita kami bertemu dan
interview itu rampung. Tapi ternyata di akhir, pihak penginterview memberitahu
bahwa interview itu hanyalah sekedar social experiment untuk semacam campaign. Saya
mengizinkan walaupun pada dasarnya sedikit mengecewakan mengingat selain untuk mengalokasikan
waktu interview itu saja saya harus memundurkan deadline kerjaan, juga di hari
interview itu, saya pun masih harus menunggu mereka hampir 1 jam keterlambatannya.
Tapi bagian itu bisa saya terima karena mau bagaimanapun itu adalah bagian dari
konsekuensi saya mengingat saya tetap memilih mengiyakan untuk diinterview
walaupun sebelumnya saya sudah sedikit curiga melihat segala ketidaklengkapan
aspek interview (berdasarkan yang saya pahami) mereka. Tapi untuk bagian lain berikutnya,
sedikit mengusik saya.
Singkat cerita, secara tiba-tiba video itu sudah terunggah. Lewat repost-an
teman-teman yang men-tag, akhirnya saya menontonnya. Hasilnya, di satu bagian agak
mengecewakan. Bukan di soal 95% pembicaraan soal perjalanan dan proses berkarya
saya yang lenyap begitu saja -yang bisa saya terima mengingat menampilkan
proses berkarya narasumber bukan tujuan dari campaign tersebut – tapi soal pemotongan
pembicaraan saya di tempat yang kurang tepat yang menjadi titik keberatan saya.
Jadi di satu bagian video, para narasumber ceritanya diberi pertanyaan
tentang penghasilan, semuanya menjawab, walaupun dengan struktur penyampaian
yang berbeda-beda, tapi dapat terlihat idenya adalah penghasilan; tiba pada
giliran saya, “...ternyata itu ada sekitar A di rekening gua...”, tiba-tiba
saya terlihat seolah sedang memamerkan jumlah uang di rekening saya. Saya tidak
sedang mengelak bahwa itu bukan kata-kata saya, tapi saya sedang mengkonfirmasi
bahwa pemotongan kalimat saya itu sama kasusnya seperti menampilkan kalimat “Saya
mendorong anak kecil” dari pemotongan kalimat utuh “Saya mendorong anak kecil karena
saya melihat ada mobil yang akan menabraknya”. Pemotongannya mendorong
terjadinya penafsiran baru yang tidak sama dengan maksud dari kalimat aslinya. Dan
hasilnya sesuai. Teman-teman saya berkomentar tepat seperti persepsi yang
dibentuk oleh video itu tentang saya yang sedang memamerkan jumlah uang di
rekening saya. Seorang Irvan Aulia, yang sejak lama paling tidak peduli soal
uang dan paling tidak bisa membicarakannya, kini memamerkan jumlah uang di
rekeningnya hahaha.
Sekedar konfirmasi saja, pemotongan
kalimat “... ternyata itu ada sekitar A di rekening gua...” adalah
pemotongan dari jawaban yang kurang lebih sepanjang yang saya ingat kalimat
utuhnya adalah
“Sebetulnya gw sendiri gak pernah ngitung penghasilan gw
pastinya berapa. Masing-masing project beda-beda. Kadang di bulan yang ini
dapet project gede, yang di bulan berikutnya agak sedikit. Tapi kalo ditanya
soal penghasilan atau dikira-kira, jadi beberapa bulan yang lalu gw sempet dapet
bayaran sebuah project secara cash. Gw setor ke bank dan mau gak mau transaksi
gw yang kebetulan setaun itu gak pernah gw cetak, ke cetak juga di tabungan.
Setelah gw cek ternyata itu ada sekitar
A di rekening gua. Gw kaget ternyata ada transaksi sekitar A di rekening gw
selama setahun yang memang gak pernah gw cek. Perputaran uang di rekening gw
itu segitu. Gw sempet kaget akhirnya gw cek ke temen-temen yang biasa ngerjain
project ama gw, gw list lagi project apa aja yang udah dikerjain dan ternyata
hasilnya emang sekitaran segitu. Terus kalo dipotong kasar sama biaya produksi
dan bayar orang, kurang lebih ada sekitaran B itu uang gw. Jadi yaa kira-kira
sebulan penghasilan gw sekitaran C.”
Saya kira seharusnya murid SMP atau setidaknya SMA juga bisa mengkaji mana
kesimpulan dari jawaban saya jika pertanyaannya adalah berapa penghasilanmu. Seandainya
jika video itu ingin tetap mengambil kalimat “...ternyata itu ada sekitar A di
rekening gua...”, etisnya seharusnya juga ia tidak menghilangkan
gagasan “Perputaran” dan “selama setahun” agar konteksnya
tidak berubah.
Saya tidak tahu dengan proses editing dengan narasumber yang lain, tapi
untuk soal editing bagian saya, saya sudah mengajukan keberatan saya dan
prosesnya masih berjalan hingga hari ini. Bukan saya menolak logika video
social experiment yang selalu menempatkan objek pada kondisi hitam atau putih
saja, dan agaknya terkesan berlebihan jika melihat konteks video yang cenderung
sepele; tapi buat saya, praktik editing yang menempatkan sebuah statement,
opini atau argumen pada kesimpulan yang tidak akurat atau pada bentuk
terburuknya bahkan manipulatif, dalam konteks dan skala sekecil apapun saya
kira tidak dapat diterima.
***
Kerja editing buat saya adalah kerja detektif. Ia erat dengan kemampuan dan
intelijensi seseorang dalam menganalisa, menyusun dan menyimpulkan sebuah
situasi. Pada konteks estetis seperti film atau video fiksi lainnya, proses
penyimpulannya bersifat terbuka dan bebas. Bahkan pada proses kreatif tertentu,
secara sah cerita atau pesan dapat direkonstruksi dan dimanipulasi ulang sedemikian
rupa pada proses editing (kemampuan ini juga yang kemudian menempatkan editor
pada predikat second director). Tapi pada konteks non fiksi seperti video
dokumenter atau video social experiment seperti contoh kasus saya, kerja
editing menjadi sangat erat dengan kerja jurnalistik karena posisinya yang menampilkan
sebuah fakta atau kejadian nyata. Maka etika yang berlaku juga adalah etika
jurnalistik dan prinsip kehati-hatian. Tapi permasalahannya, tidak semua
videographer termasuk saya, mengerti tentang prinsip kerja dan etika
jurnalistik secara utuh. Tidak semua editor sadar bahwa pemotongan kalimat,
bahkan untuk satu kata pun, di titik yang tidak tepat, akan membentuk sebuah
persepsi, opini atau argumen baru yang jauh berbeda dari sumber aslinya. Dalam
wajah terburuknya, praktik ini biasa digunakan untuk menyerang, mendiskreditkan
atau membunuh karakter sebuah pihak dengan tunggangan kepentingan tertentu
secara sadar.
Lalu dimana tanggung jawab moral kita sebagai videographer yang notabenenya
cukup dekat dengan kemungkinan terjun ke dalam medium non fiksi? Yang mau tidak
mau harus menjalankan peran kerja jurnalisme ini?
Saya pribadi memiliki beberapa poin sebagai kehati-hatian dalam menyikapi
medium-medium non fiksi tersebut, yang ketimbang disebut sebagai etika, barangkali
lebih tepat disebut sebagai trik. Diantaranya,
1. Sadar dengan segala keterbatasan, kemampuan dan ketidaktepatan
kapasitas saya pribadi, kehati-hatian pertama yang saya pegang adalah saya
menghindari project-project non fiksi skala besar seperti film dokumenter
misalnya yang pertanggungjawaban moral dan peran kerja jurnalismenya pun jauh
lebih besar.
2. Saya
menghindari project dokumentasi yang mengharuskan adanya keterlibatan pihak
atau sumber ketiga. Seandainya pun ada, pihak atau sumber ketiga itu harus berafiliasi
dengan pihak pertama (klien). Sehingga pertanggungjawabannya hanya terjalin
dalam satu jalur antara saya dengan pihak pertama. Hal ini jauh lebih sederhana
ketimbang harus menghadapi 2 jalur pertanggungjawaban pada pihak ketiga yang
terpisah dari pihak pertama.
3. Seandainya
saya melakukan interview - seperti pada hadits sebagai penafsiran manusia yang
harus diuji kebenarannya dengan alat kritik Alquran sebagai sumber asli - penarikan
kesimpulan yang objektif dari opini pun harus diuji kepada sumber aslinya. Saya
sendiri tidak jarang harus melewati 5 tahap revisi untuk menghasilkan
kesimpulan yang ramping dan tepat berdasarkan sumber aslinya.
4. Sering membaca
buku mungkin bisa jadi salah satu latihan kita dalam memahami sebuah pesan,
mencari benang merah dan menarik kesimpulannya.
***