“Fasis yang baik adalah
fasis yang mati”
Homicide
– Puritan
Pemilihan presiden tinggal
menghitung hari. Timeline sosmed tempat self-branding kita saling berpacu, kini
makin sesak dijejali debat-debat kusir yang semakin sporadis. Terus menggila
dan semakin mirip gonggongan ketika ejekan, cacian dan makian meminta tempat lebih
di dalamnya. Inilah saat-saat ketika batas nalar kita sedang digetarkan,
kewarasan kita sedang mencari kembali pengertiannya; dan kini, ketika ia tiba
pada video “nasionalis” ala ahmad dani, bentrokan di ujung kampanye atau juga
keberpihakan sebagian media kepada salah satu sudut ring, saya rasa kita tidak
perlu takut lagi menghadapi kurs rupiah yang sedang turun saat ini. Karena
kenyataannya, melewati pilpres kali ini justru jauh lebih berat untuk dihadapi negeri
ini ketimbang apapun.
***
Entah bagaimana, totalitarianisme,
komunisme, liberalisme atau rasisme tiba-tiba saja menjadi diktum-diktum besar yang
dirayakan di antara tumpukan informasi kita terkait pilpres hari ini. Saya tidak
tahu apakah ini biasa terjadi di periode sebelum-sebelumnya atau tidak, tapi
yang jelas, bayangan bahwa ledakan sosial (atau apapun) yang bisa terjadi kapan
saja karenanya, menjadi bagian paling mengerikan bagi saya; mengingat juga bahwa
isu-isu tersebut sebagaian besar adalah jejak hitam sejarah kita, trauma-trauma
kita. Dan celakanya, trauma itu muncul di sebagian kita dalam bentuk ekstrimnya,
menghasilkan fanatik-fanatik buta yang nyaris kehilangan logikanya ketika
justru, kesadaran nalar sedang sangat dibutuhkan untuk mengahadapi pilpres kali
ini.
Tidak berhenti sampai
disitu, bagi kita – peradaban2 plastis ini, manusia2 serba cepat ini – dunia virtual
bernama internet ikut memanasinya. Sosial media yang sebelumnya telah merebut
paksa pengertian tentang realitas nyata, kini kembali memaksa kita untuk
menjadikannya sebuah medan pertempuran politis. Tidak ada yang salah dengan itu
sebetulnya, karena paling tidak gejala itu bisa menunjukkan bahwa kesadaran
politik kita sedang sangat meningkat jauh. Tapi yang jadi masalahnya adalah, sebagian
kita lupa bahwa peleburan ruang privat dan publik serta kebebasan radikal yang
ditawarkannya; ketidakhadiran sistem editorial, kode etik serta otoritas pengawas
di dalamnya, telah menempatkan internet sebagai ruang tempat informasi prematur
banyak bertaburan (termasuk juga dengan blog ini). Hasilnya, kebanyakan dari diskusi
kita terjebak dalam aktivitas timpa-menimpa informasi yang sifatnya kadang
sangat subyektif dan keabsahannya perlu dikaji lebih jauh.
Selain itu, dua gejala besar
itu juga seringkali dicerna tanpa menyadari bahwa hiperbolisme – sebagai konsekuensi
dari sebuah momentum – telah menjadi komponen utama di banyak informasi, yang sudut
pandangnya bergantung pada kepentingan di baliknya. Judul-judul provokatif, isi
yang dilebih-lebihkan serta berita-berita gak penting terkait masing-masing
kandidat menjadi bentuk-bentuk hiperbolisme yang sering saya temui. Dan parahnya
lagi, informasi-informasi itu, kadang dicerna dan disimpulkan dengan pola nalar
kita yang dalam buku Rekayasa Sosial (Rakhmat, 1999) disebut dengan kesalahan
berpikir atau intellectual cul de sac. Salah
satu yang sering saya temui adalah fallacy
of dramatic instance (over-generalisation), penggunaan satu dua kasus untuk
mendukung argumen yang bersifat general atau umum (Rakhmat, 1999 : 5). Misalnya
saja, ada orang yang mengatakan bahwa “Orang Islam itu jorok-jorok, buktinya
Indonesia yang mayoritas muslim, orangnya jorok-jorok” atau “Nazi dan fasisme itu
tidak jahat untuk saya, maka pastilah ia juga tidak jahat untuk Indonesia”
berarti sudah masuk ke dalam fallacy of
dramatic instance. Dan contoh lain dari kesalahan berpikir tersebut adalah,
Ryan
adalah mahasiswa ITB.
Irvan
adalah mahasiswa ITB.
Ryan
itu ganteng
Berarti
Irvan juga ganteng
Saya tidak bermaksud untuk
menyerang mereka yang tengah giat menyampaikan pandangan politiknya di media
sosial atau apapun, karena tentu saja itu adalah bagian dari partisipasi
demokrasi kita. Tapi fanatisme yang semakin hari semakin menggila, cukup
menjengkelkan dan membuat saya gelisah. Kita sama-sama hidup di dalam gemerlap
post modernisme ketika ketidakpastian menjadi satu-satunya kepastian; ketika institusi-institusi
pemegang otoritas kebenaran kita telah sama-sama runtuh. Dan itu artinya, di
antara kita tidak pernah ada yang berhak memonopoli definisi kebenaran apapun
sambil kemudian menganggap yang lainnya adalah salah. Tapi ketika itu tetap terjadi,
ketimbang kesaksian Allan Nairn tentang dugaan fasisme yang dianut salah satu kandidat,
ketimbang bau tengik orde baru yang semakin tercium tajam, saya jauh lebih
ketakutan jika masing-masing kita telah mulai saling mengkafirkan mereka yang
berbeda pendapat, telah saling memaksakan pemikirannya dan mulai saling
membunuh atas itu.
***
Kita
telah sama-sama mengetahuinya, sangat keliru jika masa depan negeri ini hanya ditentukan
oleh satu orang
saja. Siapapun yang terpilih nanti, negara tetap tidak akan menjadi apa-apa
tanpa keterlibatan kita. Dan siapapun yang terpilih nanti, saya harap kita
dapat sama-sama meyakininya, bahwa hanya di tangan kita, masa depan kita
masing-masing ada.