Aku
baru saja menuntaskan sebuah pembelian di warung klontong itu saat dua sosok
manusia ini melintas melewatiku. Aku berada di belakang mereka setelahnya, berjalan
menuju arah yang sama. Gerbang kampus. Tapi kendati sesekali jalan mereka harus
terhenti sebentar untuk memunguti beberapa benda di tengahnya, entah bagaimana,
saat itu aku merasa segan untuk pergi mendahului mereka. Aku lebih memilih
untuk melambatkan langkahku agar aku tetap berada di belakang mereka. Entah
barangkali seperti pada Ali yang pernah menghormati seorang kakek tua Yahudi
dengan tidak berjalan mendahuluinya atau apa, saat itu pun aku merasa aku ingin
menghormati mereka. Ya mereka. Seorang bapak pemulung bersama dengan anaknya
yang hitam kurus di Sabtu pagi waktu itu. Sebuah tas violet usangnya dan baju
spidermannya itu.
***
Tiba-tiba saja saya teringat sesuatu bahwa pernah
di sebuah warung makan di sekitaran kampus, seorang bocah datang menghampiri saya
dan kawan saya. Ia seorang pengamen. Bernyanyi setengah lagu; menyudahinya lalu
mulai menengadahkan tangannya mendekat. Di tengah itu ia terus bergumam“A kasihan a, saya belum makan a, ibu saya
sakit di rumah”. Mendengarnya saya segera merogoh saku dan memberikan
sejumlah uang. Tidak banyak. Tapi cukup untuk membuat kawan saya sedikit beragumen.
“Lu harusnya jangan kasih van, itu sama
aja kayak lu ngajarin dia untuk minta-minta terus. Lagian biasanya juga mereka
tuh sebenernya pura-pura doang”. Saya terdiam. Lalu tersenyum untuknya, “Praduga tak bersalah” kataku. Persis seperti apa yang kadang diberikan
hukum kita pada koruptor-koruptor yang tiba-tiba sakit saat hukumannya sudah
dijatuhkan. Sebuah simpati. Keibaan.
Ada
beberapa alasan sebetulnya mengapa saya masih saja sesekali memberikan uang
kepada pengemis atau bocah-bocah pengamen itu. Hal pertama adalah bahwa ketika kawan
saya berpikir dengan memberikan uang kepada mereka berarti kita mengajarkan
mereka untuk terus meminta-meminta, saya melihat kemungkinan yang lain bahwa
ketika kita memberikan uang, mereka juga mungkin akan belajar tentang memberi. Seperti
koin. Ia memiliki dua mata. Definisi “diminta” di satu sisinya, dan definisi “diberi”
di sisi lainnya. Ketika mereka melihat hanya kepada definisi yang pertama, benar
mereka mungkin hanya akan belajar soal meminta saja. Tapi bagaimana jika mereka
pun rupanya melihat sisi yang satunya lagi; tiba pada pengertian bahwa berkat
diberi seseorang; ia selalu selamat dari pukulan bertubi-tubi sang ayah; ia
selalu dapat mengisi perutnya; dan pada
akhirnya ia mungkin akan tumbuh menjadi orang yang kelak sangat dermawan. Dan saya
tidak pernah membutakan diri dari kemungkinan itu.
Hal
berikutnya adalah ketika kawan saya berpikir bahwa bocah-bocah pengemis itu
hanya pura-pura, saya justru kebingungan mencari tau apa yang sebetulnya tidak
pura-pura di dunia ini. Bukankah segalanya sekarang konstruktif, konspirasi,
politik kepentingan, dan kita juga telah sama-sama tahu bahwa itu sering
terjadi di sini, di antara hukum, politik, ekonomi kita. Lalu tunggu juga
hingga kalian mendengarkan Jung bercerita tentang teori personanya, sebuah
definisi topeng yang dimiliki oleh setiap psikis manusia. Dan jadilah ini
sebuah kejutan. Bahwa kepura-puraan, pencitraan, segala hal yang kita jadikan
topeng, rupanya adalah bagian dari kemanusiaan kita.
Di
sisi lain, sama halnya dengan perusahaan rokok yang menggunakan perempuan-perempuan
SPG seksinya untuk menjaring konsumen; para pengemis, dengan segala kekumuhan
dan kemampuan teatrikalnya, juga adalah para penjual. Produknya? Rasa syukur. Sama
sahnya ketika anda harus membayar “rasa puas” setelah bermain game. Jadi suatu
saat ketika seorang pengemis – bocah ataupun orang tua – yang secara teatrikal
dan artistiknya berhasil memberikan saya rasa syukur kepada saya, maka bukankah
tidak ada salahnya juga jika saya kemudian membayar upah untuk usaha tersebut.
Tapi
entahlah, pada akhirnya, atas segala yang kita pikirkan tentangnya, kita tidak
pernah bisa menjudge kebenaran apa-apa tentang mereka, sesuatu yang belum pernah
dibuktikan, memonopoli definisi tentang mereka tanpa pernah ada usaha untuk
mendalami mereka. Kita tidak tahu, apakah bocah-bocah yang mengatakan bahwa
mereka memerlukan uang untuk membeli buku sekolah, mengisi perut yang belum
terisi sejak dua hari lalu, membeli obat untuk ibu yang sakit atau apapun
adalah benar atau tidak. Relativitas etis itu, memaksa kita untuk berlabuh pada
prinsip kepercayaan. Bukan rasio, bukan rasa, kepercayaan menurut saya adalah
hal yang berbeda.
***
Tiba-tiba
bayanganku pecah. Aku telah berada di mulut gerbang, berdiam sebentar dan
menyaksikan dua sosok itu menjauh melanjutkan. Tak ada yang terlintas. Karena membayangkan
kemungkinan-kemungkinan tentang mereka terlalu menyakitkan buatku. Aku
melangkah masuk. Tapi masih berpikir tentang kalimat yang malu untuk aku
ucapkan langsung kepada mereka.
“Aku bersama kalian”