INT. RUANG UTAMA, MALAM HARI
Suatu hari, seorang
anak mendatangi ayahnya. Ia bermaksud mengajukan keberatan atas jumlah uang
jajannya sehari-hari.
Anak : “Ayah, uang jajan
yang ibu berikan untukku sehari-hari , rasanya kurang sekali Ayah.”
Ayah : “Berapa
biasanya kau meminta uang jajan pada ibu?”
Anak : “Rp 2.000,-“
Ayah : “Kalau begitu, besok
cobalah minta Rp 1.000,-“
Anak : “Baiklah Ayah.”
Keesokan malamnya, si
anak mendatangi kembali ayahnya.
Anak : “Tadi pagi aku sudah
meminta uang jajan pada ibu sebesar Rp 1.000,-. Tapi rasanya masih saja kurang
Ayah”
Ayah : “Kalau begitu, besok
mintalah Rp 500,-“
Anak : “Baiklah”
Malam berikutnya, si
anak mendatangi ayahnya lagi
Anak : “Uang jajanku sudah
Rp 500,- Ayah. Tapi aku merasa uang itu semakin tidak mencukupiku saja .”
Ayah : “Kalau begitu, besok
mintalah Rp 2.000,-“
Anak : “Baiklah Ayah”
Dan keesokan
malamnya…
Anak : “Ayah, hari ini uang
jajanku Rp 2.000,- dan aku merasa jumlah uang jajanku sekarang sudah lebih dari
cukup ayah”
Ayah : “Bersyukurlah untuk itu”
-------
Beberapa dari kita
mungkin memang harus merasakan ”ketidakadaannya” terlebih dahulu sebelum
akhirnya dapat mensyukuri “keberadaannya”, merasakan
kesakitannya dulu supaya bisa mensyukuri kesehatannya, merasakan
kemiskinannya dulu supaya bisa mensyukuri kekayaannya.
Tapi mungkinkah jika
kita bisa mensyukuri apa yang telah kita miliki itu tanpa perlu merasakan
kehilangannya terlebih dahulu?
Mensyukuri kehidupan
kita tanpa perlu menemukan kematian terlebih dahulu?
sumber foto: jerukpisang.files.wordpress.com