“Children are the living messages we
send to a time we will not see.”
-
Neil Postman, The Disappearance of Childhood (introduction), 1982 -
|
Sumber : Koleksi pribadi oleh Frans Sihombing |
Sepertinya aku merasa ada
yang hilang disini. Semacam komposisi diatonik sederhana yang tak berdistorsi. Kadang
bercerita tentang kecintaan pada ayah dan ibu, kadang juga bercerita tentang
alam. Pernah tentang seekor lumba-lumba, pernah juga tentang orangutan. Dan aku
masih mampu mengingat namanya. Musik anak! Tentang apa yang kutulis disini, aku
menyebutnya realita musik anak Indonesia.
Setengah tak percaya bahwa
pembicaraanku lagi-lagi beririsan dengan lingkaran moral. Ya, karena buatku
perbincangan musik anak bukan lagi soal industri, harmonisasi melodi atau juga
penjualan kaset. Ini tentang “the living
messages we send to a time we will not see”.
Tak perlu berpura-pura
terkejut hari ini anak-anak ramai menyanyikan lirik-lirik dewasa. Setelah volume
musik-musik mereka dikecilkan menuju angka nol kemarin. Dan selanjutnya tak
perlu juga terkaget-kaget membayangkan apa yang terjadi besok. Karena realitas
sudah sejak lama berada dalam ruang pesakitannya. Berikan tanda tanya besar
pada kesadaran kita. Bahwa kita terlalu mengagumi egosentris kita. Sebuah positivisme
Individualis. Membuat kita tak terlalu menganggap penting fenomena sosialitas
yang tak bertalian dengan diri kita.
Ada beberapa poin yang ingin
sedikit aku ketengahkan disini menyoal apa yang terjadi pasca keterhilangan musik-musik
anak tersebut.
Pertama, anak-anak menjadi
tidak memiliki pilihan untuk memperdengarkan sebuah musik selain musik-musik
orang dewasa. Komposisi ini diperparah dengan hampir tidak adanya grup-grup musik
mainstream yang berani membawakan lirik-lirik berkualitas yang setidaknya
sedikit bermuatan intelektual. Lalu musik kembali berlabuh dalam tema-tema dangkal
yang membosankan. Cinta, pacaran, perselingkuhan, playboy, putus cinta, cewek
seksi dan seterusnya. Dan jika kita menyepakati ini sebagai musik dewasa,
lantas aku mempertanyakan dimana bagian kedewasaannya. Tebak apa yang selama
ini kita lakukan? Kita ikut membuatnya
menjadi subur. Sebuah konsep “pemikiran dangkal”. Yang beberapa orang senang
memperhalus istilah tersebut menjadi “pemikiran sederhana”.
|
Sumber : Koleksi pribadi oleh Tito Yusuf |
Selanjutnya secara tak disadari
nutrisi cacat ini terjejalkan ke dalam pikiran anak-anak hari ini. Sebuah
kertas putih dalam teori tabularasa. Mereka mengakrabkan diri dengan beberapa istilah
yang sebenarnya tak ada relevansinya dengan mereka. Hampir tanpa sebuah filter.
“Berciuman”, “berpelukan”, “mencintai”, “selingkuh itu indah”, “playboy”, “cewek
seksi” dan seterusnya. Kita mungkin boleh mengasumsikan bahwa anak-anak tidak mengerti
isi lirik tersebut. Tapi sepakati bahwa anak-anak menjadi terbiasa dengan
istilah-istilah itu. Lalu setujui teori perkembangan kebudayaan manusia. Bahwa
pengulangan menjadikan pembiasaan, pembiasaan menjadikan norma, norma menjadikan
sebuah budaya. Dan saranku adalah kritisi setiap bentuk yang menjadi
pengulangan itu.
Berandai istilah-istilah dewasa
itu terus diteriakkan di setiap telinga anak-anak, budaya apa yang akan
diproduksi anak-anak ini? Maka inilah the
living messages we send to a time we will not see.
Para penganut progresif mungkin
akan mewajarkan dinamika ini. Sedang para pengagung konservatif akan meludahi
pergeseran nilai ini. Apa yang harus kita lakukan?
|
Sumber : Koleksi pribadi penulis |
Negara Indonesia dengan
segala nilai kebudayaannya adalah Negara bermoral. Menjadi sebuah kewajiban
untuk mengkritisi setiap pergeseran nilai moral yang terjadi. Tapi tanpa juga menghilangkan
variabel lain bahwa dunia mengalami akelerasi dengan sangat cepat. Kemungkinannya
menjadi dua. Perombakan estetika bermusik seluruh industri. Baik bentuk maupun
isi harus memiliki relevansi universal. Atau kedua, bangunkan kembali musik-musik
anak yang bercitrakan dunia anak. Bukan band anak-anak yang terkesan anak-anak
padahal menyanyikan cerita orang dewasa. Yang belakangan sempat populer di
jajaran industri musik tanah air. Anggaplah bahwa komposisi musik anak sudah
ketinggalan jaman, maka jalan tengahnya penciptaan komposisi musik yang relevan
dengan masa kini tapi tetap dengan memperhatikan muatan isi lagu.
Lalu dimana para orang tua? Haha.
Aku mungkin hanya bisa memberitahu bahwa anak-anak kalian tengah bermain dengan
sebuah pisau potong. Dan selalu ada dua kemungkinan. Ia menjadi seorang koki
handal. Atau mungkin ia menjadi seorang perampok. Dan ada dua kemungkinan lagi
bagi kalian. Kalian peduli dengan ini, atau tidak sama sekali.