Tuesday, November 26, 2013

HUJAN SOREKU



Dan seperti pada waktu-waktu yang lalu,
setiap kali aku tiba di tempat ini, ia selalu disana.
Di sebuah persimpangan.

Dengan sebuah flute yang selalu ia mainkan saat anak-anak lusuh
itu telah berkumpul untuknya.
Tiga, lima belas, tujuh puluh enam dan hari ini bahkan ia mengajak
beberapa ekor kucing untuk bergabung. Tak mengherankan.
Kudengar setiap pagi ia sering menyisakan remah roti di meja
makannya hanya agar beberapa semut bisa membawanya pulang.

Ada yang selalu kutunggu darinya setiap sore.
Sebuah ritus kecil, saat rambut sebahunya mulai digodai angin.
Saat rok selututnya mulai menari-nari kecil di ujung-ujung kulitnya.
Candu itu, membuatku diam-diam harus selalu menjatuhkan beberapa
koin di hadapannya. Memesan teh sepanas mungkin,
dan menunggunya dingin tanpa kutiup sedikitpun.
Bahkan saat telah menjadi dingin, ia tetap kuminum seolah-olah
ia masih sangat panas. Berulang-ulang kulakukan hanya agar
aku bisa duduk di kursi warung ini.
Tempat terbaik untuk mengaguminya.

“Kau adalah alfabet pada tiap buku cerita yang mengisahkan
tentang kebaikan. Kau adalah nada keempat pada sederetan nada lima notasi.
Sebuah blue note. Muses untuk setiap mereka yang
tengah diperangi apartheid jalanan.” Kataku

***

Saturday, November 23, 2013

LILIN KECIL

Ibunya cukup terkejut ketika anak semata wayangnya yang nampak tergesa-gesa, tiba-tiba saja mengatakan bahwa ia akan pergi jauh dan tidak akan kembali pulang.
“Memangnya kau hendak kemana nak? Kau hanya anak berumur 9 tahun yang bahkan untuk pergi ke sekolah saja masih harus diantar”
Anaknya hanya tersenyum. Sambil kemudian menceritakan tentang pertemuannya tadi.
“Sesaat yang lalu seorang lelaki tiba-tiba menghampiriku bu. Ia menawariku 3 buah cokelat ajaib yang harus kupilih salah satunya.
Jika aku memilih dan memakan cokelat pertama, ia mengatakan bahwa aku bisa mendapatkan kekuasaan apapun yang aku inginkan. Sedangkan jika kupilih cokelat kedua, ia mengatakan bahwa aku bisa mendapatkan seluruh harta yang ada di dunia ini bu.”   
Sang Ibu menajamkan garis dahinya. Ia mencoba mencerna lebih dalam cerita yang dimaksud anaknya.
“Lalu kau memilih cokelat yang mana?”
Sang anak terdiam sebentar.
“Aku memilih cokelat ketiga.”
“Cokelat ketiga? Apa yang akan terjadi jika kau memilih cokelat ketiga nak?”
Raut wajah anaknya menegas.
“Aku akan menjadi sebuah lilin bu.”
“Lilin?!”  Ibunya semakin terkejut mendengar itu.
“Di sebuah tempat di pelosok yang jauh, ada seorang anak yang kelak akan menjadi orang besar bu. Ia adalah satu-satunya orang yang kelak akan paling mampu memanfaatkan kekuasaan dan harta apapun yang ada di dunia ini.
Saat ini, setiap malam, di meja belajarnya, ia selalu menyalakan sebuah lilin sebagai penerangan untuknya selagi membaca dan belajar.
Dan lelaki tadi mengatakan bahwa jika aku memilih cokelat ketiga, aku bisa mendapatkan kehormatan untuk menjadi salah satu dari sekian banyak lilin yang ia nyalakan tiap malam itu.”
Bola mata ibunya mulai bergenang. Sang anak masih melanjutkan
“Sekalipun hanya sebagai sebuah lilin kecil, sekalipun tubuhku harus sakit terbakar; bahkan sekalipun untuk hidupku yang hanya semalam, aku hanya ingin menjadi berarti bu.”
                                                                ***

   

DI TELAPAK KAKINYA





***
Dan tatkala dokter tersebut menyatakan
bahwa kedua kaki ibunya
harus segera diamputasi,

ia semakin ketakutan dibuatnya.

"Apakah hari ini aku akan benar-benar
kehilangan surgaku?"

***





Wednesday, November 20, 2013

DIALOG IMAJINER : EDELWEISS



                                                                                                 INT. RUMAH, SORE

                      Anak lelakinya yang sedari tadi ia tunggu kepulangannya, baru saja tiba di hadapannya.
                      Ia nampak bergegas. Dan entah apa itu, sepertinya ia membawa sesuatu di tangannya.

Ayah : “Apa yang kau bawa itu nak?”
Anak : “Oh ini? Aku membawa seikat edelweiss ayah.”

Ayah : “Edelweiss? Kukira kau sangat mencintai edelweiss?”
Anak : “Ya, aku benar-benar sangat mencintainya Ayah”

Ayah : “Lalu mengapa kau memetiknya dan membawanya?”

Keheningan menghampiri sebentar, menengahi pembicaraan itu.

Anak : “Tentu saja karena, aku ingin memilikinya”

Ayah : “Apa kau tidak tahu bahwa memilikinya hanya akan membunuhnya saja?!
 Sekalipun kau melakukannya atas dasar kecintaanmu!”

Sang anak terdiam. Ia sedikit kebingungan.

Ayah : “Edelweiss memiliki masa hidup yang relatif pendek. Setelah dipetik
    beberapa kali, ia tidak dapat menghasilkan benihnya lagi. Dan hingga
    pada akhirnya, secara perlahan ia akan lenyap dari lingkungannya tumbuh.”
           
                                                        ****

Ayah : “Bukankah kita pun telah sama-sama mengetahuinya nak,
  mencintai dan memiliki adalah dua hal yang sangat berbeda.”















Sumber foto: koleksi pribadi Agathon Yuda (edelweiss gunung gede)
Editor : kontemplasi diagonal




Wednesday, October 23, 2013

DIALOG IMAJINER : TANGAN-TANGAN YANG LEMAH

INT. RUMAH, MALAM HARI

Anak :
“Aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, Ayah.
Apakah mungkin jika Tuhan telah membenciku dan tengah menghukumku?”

Ayah :
“Tidak anakku. Saat Ia tengah mengambil sesuatu dari genggamanmu,
Ketahuilah bahwa Ia hanya tengah menyiapkan tanganmu
untuk menerima sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.”






sumber foto : www.thenutgraph.com

Monday, October 21, 2013

UJUNG SEBUAH KAWAN








"Kadang memilih gagal itu
 memang diperlukan.

Paling tidak supaya kau
 bisa tahu siapa kawanmu."








Monday, October 14, 2013

DIALOG IMAJINER : KURBAN





INT. RUMAH BILIK, MALAM HARI

Di dalam sebuah ruang yang tak begitu besar,
 bersekat lembaran-lembaran bilik, 
seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya 
tengah berbaring santai di atas tikar. 
Menatapi langit-langit rumah mereka yang nampak rusak. 
Sambil mendengarkan sayup-sayup takbir 
yang terus bersahutan menyambut Idul Adha di keesokannya.

Anak :
“Mengapa tahun ini kita tidak membeli hewan ternak 
untuk dikurbankan lagi Ayah?”

Ayah :
“Maafkan Ayah nak. Ayah masih belum mampu
 membeli satupun hewan kurban.”    

Anak :
“Tapi aku takut Ayah, jika Tuhan akan membenci kita 
seandainya kita tidak pernah melakukan kurban barang sekalipun.”

Ayah :
“Mengapa kau berpikiran begitu? 
Bukankah selama ini pun kita selalu berkurban. 
Bahkan sesuatu itu jauh lebih baik ketimbang 
berkurban jutaan ekor sapi sekalipun.”

  Anak :
“Benarkah Ayah? 
Memangnya apa yang selalu kita kurbankan itu Ayah?”
  
Ayah :
“Keinginan kita atas dunia, Anakku.
Tak banyak yang mampu mengorbankan itu.”




BEYOND THE SCENE



Cukup sulit menemukan waktu untuk membuat postingan blog dalam beberapa minggu belakangan ini. Selain beberapa kesibukan akademik yang banyak menyita paksa waktu-waktu dan tenaga saya, kegiatan-kegiatan lain diluar itu  - yang juga rupanya berhubungan dengan penulisan dan story telling – ikut menghabiskan ide-ide saya untuk membuat sebuah tulisan. Dan salah satu kesibukan gila itu adalah membuat sebuah film pendek.

Terhitung kurang lebih sejak dua minggu terakhir di bulan September, hingga saat tulisan ini dibuat, proses pembuatan film itu sudah dimulai dan bahkan masih berjalan. Sepanjang proses itu, agaknya saya dapat mengatakan bahwa pembuatan film tersebut - sekalipun hanyalah film dengan durasi yang mungkin tak lebih dari 15 menit – adalah film terberat yang pernah saya dapatkan sepanjang keterlibatan saya dalam produksi video dan film manapun. Selain alasan-alasan teknikal yang terus muncul seiring tingginya tuntutan kualitas, alasan-alasan moril yang banyak menciptakan letupan-letupan emosional, juga menjadi alasannya. Pada bagian terparahnya, keduanya kadang membuat saya menjadi terlalu melankolik dan dramatik. Terlebih lagi jika mengingat bahwa menyutradarai sebuah film adalah sesuatu yang paling ingin saya lakukan dalam sepanjang hidup saya, sejak lama sekali.

Dan barangkali karena keterlibatan emosional saya yang sangat besar di dalamnya itulah, saya jauh lebih bisa memaknai banyak hal disitu. Terlebih lagi adalah soal anak-anak.

***

Kebutuhan akan kehadiran anak-anak dalam film pendek yang tengah saya buat ini, menuntut saya untuk bolak-balik berurusan dengan banyak anak berbagai usia dari dua komunitas yang berbeda. Komunitas pertama adalah lembaga non formal yang berada di bilangan dago pojok. Sedangkan yang kedua adalah komunitas anak-anak jalanan yang dikelola oleh sepasang suami istri di daerah dago bagian atas. Dan menariknya adalah, keduanya memiliki kejutannya masing-masing, yang mempertemukan saya pada titik-titik yang saya definisikan sebagai kegagalan saya dalam film ini. Anak-anak dago pojok yang sangat liar dan sulit diatur menjadi kejutan pertama. Sedangkan kejutan kedua datang dari komunitas berikutnya ketika saya harus berhadapan dengan seorang idealis garis keras berkecenderungan kiri yang menolak mentah-mentah skenario film yang saya tawarkan; ia seorang nihilis, tidak mempercayai nilai-nilai apapun, termasuk nilai-nilai dalam film ini yang dia bilang hanya omong kosong saja. Pada satu bagian pembicaraan, ia bahkan pernah menuduh saya hanya mengeksploitasi anak-anak jalanan saja. Mengejutkan sekali!

Tapi bukan kejutan-kejutan itu poinnya, walaupun juga keduanya pun sebetulnya dapat menjadi suatu statement, tapi maksud saya, proses panjang yang telah saya lalui tersebut; berhadapan dengan berbagai anak dengan latarbelakang ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda-beda; mengenal karakter mereka; berbicara dengan mereka, beberapa tentang prestasi mereka, hobi mereka, perkelahian, kondisi keluarga, dunia jalanan, dan sebagainya; secara tidak sadar memberikan saya sebuah rangsangan berpikir tertentu. Saya menjadi sering memperhatikan setiap anak-anak kecil yang saya temui, di mana saja. Kapan saja dan tanpa terlewat. Memperhatikan apa saja yang mereka lakukan. Menangkapi citra-citra mereka sebagai sebuah potongan adegan yang siap dimainkan di hadapan saya.

Ia berupa seorang anak perempuan yang menciumi dengan kagum bunga-bunya yang tengah dijualnya di sebuah pinggiran jalan; Ia anak yang tengah bermain tablet, di depan rumahnya saat ayahnya tengah berbincang kecil dengan tetangganya; Ia sepasang adik dan kakak yang nampak belum genap berumur 5 tahun, berlarian di balik-balik mobil yang tengah berhenti, di sela-sela mengamennya; Ia pemulung kecil yang memasuki sebuah kampus elit, sedang mengumpulkan sampah-sampah plastiknya dan tersenyum saat seseorang menyapanya; Ia bocah laki-laki yang tengah sibuk dengan mainannya, tatkala sang ibu masih perlu menikmati satu menu favoritnya lagi; Ia anak penjual tisu, yang sedang memperhatikan sebuah keluarga kucing tengah menyantap sisa makanan di bawah meja kantin; dan ia seorang anak laki-laki berkaos Persib, yang tengah membuat sebuah gambar di atas aspal jalan dengan kapur yang baru saja ia temukan.

Dan saya terus memperhatikan itu. Tanpa tahu apa yang sedang saya cari dari mereka. Apa yang sedang saya nikmati dari mereka. Sesekali waktu, lagu sore di tugu pancoran milik iwan fals membawa pikiran-pikiran saya berlabuh pada persoalan-persoalan sosial atau juga ekonomi tentang mereka. Kadang juga ia muncul sebagai sebuah kegelisahan atau kemarahan, saat kegagalan para orang tua terlalu dapat terlihat jelas untuk disalahkan. Atau kadang juga, ia menjadi sebuah kesadaran bahwa pada titik-titik tertentu anak-anak kecil buat saya nampak seperti sesuatu yang memiliki frekuensi yang sama. Pemimpi-pemimpi besar, manusia-manusia yang tak mengenal konsep kegagalan, sebuah keceriaan,; sesuatu yang selalu ada sekalipun dengan kondisi, latarbelakang dan nasib yang berbeda.

Tapi ringkasnya, dengan memperhatikan mereka seperti itu, pikiran saya seperti dibuat menjelajahi banyak hal. Melayang-layang di bagian yang senyap, hingga menukik ke bagian-bagian yang lebih radikal dan tajam. Semuanya bercampur dan menjadi jauh lebih emosional. Terlebih jika mengingat bahwa anak-anak kecil ini, suatu saat akan tumbuh menjadi orang-orang dewasa. Para pengisi peradaban, yang di tangan merekalah, dunia berikutnya akan dibentuk. Pembaharu, saat orang-orang tua telah sebelumnya mengacaui dunia. Dan di saat–saat seperti itu, entah bagaimana, saya seperti ingin sekali merendahkan kepala saya dihadapan anak-anak kecil ini. Menciumi kaki-kaki kecil mereka sambil terus memohoni mereka.

“Tumbuhlah dengan baik dik.
Aku bertaruh dunia padamu”


***


Kadang saya pun masih berpikir, ini mungkin hanya proses pembuatan sebuah film saja. Bagian yang terlalu dibuat hiperbolik darinya. Tapi disisi lain saya pun menyadari betul bahwa makna mendalam dari sebuah proses, apapun itu -- saat ia telah dapat dikatakan sebagai bentuk pendewasaan bagi siapapun yang terlibat didalamnya -- muncul pada kesadaran-kesadaran seperti ini. Saat kita telah dapat melihat jauh ke balik hal-hal yang ada di depan kita. Lapisan-lapisan terdalam lainnya, yang menempai kita, hingga mengantarkan kita pada temuan-temuan yang mencerahkan darinya. Sesuatu yang menembus jauh dari definisi karya itu sendiri. Sebuah cara kita untuk memaknai kehidupan kita.


Saturday, October 12, 2013

.









“Mereka yang ingin menjatuhkanmu,
adalah mereka yang menganggapmu berada di atas mereka.
Berterima kasihlah atas kehormatan itu.“









Wednesday, October 9, 2013

.










“Karena setiap manusia adalah spesies yang berbeda”