Monday, July 2, 2012

HARGA UNTUK SEBUAH KARYA


INT. RUMAH, SORE
Seorang adikku telah pulang dari waktu bermainnya.
Sepertinya ia menggenggam sesuatu di tangannya.
 “Ah, bubur lemu rupanya.
Berapa harganya dik?” tanyaku.
 “Seribu rupiah”
  
Dan apa yang bisa seseorang dapatkan dari selembaran uang seribu rupiah?
Karena pada kenyataannya, dengan itu aku masih dapat membeli semangkuk kecil bubur sumsum beserta delapan butir candil berukuran kelereng yang disiram dengan santan dan gula merah cair. Atau jika aku mau menambahkannya dengan sekeping koin lima ratus rupiah, aku masih bisa menemukan seorang pedagang yang mau menukarkannya dengan semangkuk kecil bubur kacang panas. Atau juga aku pernah tahu seseorang yang mau menukarkan balon panjang yang telah disimpul menjadi bentuk kuda jika aku mau memberikan dua lembar uang seribuan ini kepadanya. Atau aku juga dapat pergi ke seseorang yang lain dan menukarkannya dengan beberapa lembar gambar polos yang ia punya. Atau mungkin penjual perahu othok-othok disana pun masih mau menurunkan harganya untukku.
Dan aku tidak begitu sepakat dengan nominal-nominal uang itu. Bahwa buatku itu bukan harga yang setimpal atas sesuatu yang kita sebut keterampilan manusia, daya cipta manusia, kreatifitas, ide atau karya tangan seorang manusia. Maka karya-karya seni berharga ratusan juta itu, buatku menjadi sebuah penghinaan. Mungkin aku agak lupa bahwa gedung itu telah mengajariku menentukannya . Yang ini mahal dan yang itu murah. Yang ini seni dan yang itu bukan seni.  Sedang sejauh ini aku tak pernah tau apa pentingnya itu. Lantas apa pedulinya jika aku bilang persetan. Karena yang aku cintai bukan karya seni, tapi kemampuan manusia mencipta. Bukan pemikiran estetis tapi pemikiran kreatif. Bukan konsep sebuah karya, tapi cerita sebuah karya. Bukan penjelasan tentang “apa” tapi tentang “bagaimana”.
Paling tidak harga-harga itu seharusnya bisa lebih tinggi. Tapi mungkin juga itu simalakama. Karena mereka bisa saja kehilangan semua langganannya, sedang para penghuni kelas atas sudah terlanjur menganggapnya menjijikkan. Maka lagi-lagi ini kembali bermuara di meja judi. Karena jika bicara soal solusi seharusnya aku melibatkan pembicaraan ruang lainnya juga. Ekonomi, kelas sosial, etika dan estetika bisnisnya. Tapi ini memang sebuah ocehan. Karena aku lebih tertarik mempertanyakannya sebagai seorang manusia saja. Tanpa yang lainnya.







Dan semangkuk kecil bubur lemu di depanku masih belum kusantap.
Rupanya aku masih belum setenang itu.

Aku lantas bergumam
“Semoga Tuhan memberikan kebaikan untuknya.”
Paling tidak, itu harga yang bisa kubayar untuknya






sumber foto :
1. http://kfk.kompas.com/kfk/view/118631-Pedagang-Balon
2. http://ordinary-people-yos.blogspot.com
editing foto :
retorika-monolog.blogspot.com