Wednesday, March 28, 2012

BUDAYAKAN BUDAYA


Kebudayaan adalah manifestasi dari nilai-nilai. Ia memiliki kekuatan membangun karakter sebuah bangsa. Membangun karakter manusia orang per-orang.”
- Ratna Sarumpaet -

      Mari mulai bermonolog lagi. Kali ini tentang paradigma sosio-kultur masyarakat mutakhir hari ini. Triggernya adalah sebuah acara sejenis pagelaran berbenderakan seni  dan budaya di kampus tercintaku. Atau sebenarnya aku lebih suka menyebutnya sebagai pagelaran unit-unit kebudayaan mahasiswa.

         Apa yang bisa didapat dari acara ini?
       Gambaran tentang kekinian. Hal yang sama dengan apa yang akan kita dapat dari acara-acara sejenis dari kampus sebelah. Perayaan visual. Atau kita lebih senang menyebutnya trend modern-etnik.
Alhasil kajian kebudayaan kembali terjebak dalam perbincangan bentuk. Tak ada usaha untuk menariknya ke wilayah yang lebih esensial dengan melibatkan kajian filsafat, sosiologi, psikologi atau bahkan mistisime ke dalam pembicaraan. 

        Sasaran acara ini memang untuk masyarakat awam budaya. Cara itu dinilai tepat!
      Klasik. Aku terlalu bosan mendengarnya. Jurus cepat. Dan kebudayaan menguap terlalu banyak. Menyisakan bola kecil berisikan image-image motif batik, tari jaipong, angklung, kuda lumping dan seterusnya dan seterusnya. Kita jejalkan semua ini. Sama seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang dangkal dari dalam sampah kubus bernama televisi.  Repetisi tanpa henti. Membentuk realitas objektif. Selanjutnya mengkonstruksi konsepsi kebenaran secara kolektif. Dan berterima kasihlah kepada Hitler yang telah merumuskan ini. Bahwa kebenaran adalah repetisi kebohongan.
      Terlalu dangkal jika kita terus mempermasalahkan dinamika bentuknya saja. Mengeraminya dalam kandang-kandang profan. Tanpa berbicara soal pola dan strukturnya, esensi dan nilainya, spiritual dan kearifannya. Selanjutnya bertepuk tanganlah untuk sekulerisme. Bahwa kita masih malu mengakui semuanya. Budaya instant, dogmatik barat, paradigma seeing is believing, pemberhalaan fenomena populer dan seterusnya. Karenanya, kita lantas menihilkan nilai kebudayaan. Menganggapnya sudah tidak lagi relevan. Tidak ada lagi budaya sungkem (menghormati) pada orang yag lebih tua, budaya mencintai lingkungan, budaya punteun, budaya tenggang rasa, budaya ngumpul, budaya bermasyarakat dan bernegara.
     Para pemimpin rakyat seenaknya menaikkan harga BBM, mahasiswa dipukuli aparat kepolisian, tersangka korupsi divonis bebas, pencuri sendal divonis 5 tahun, anak bunuh orang tua kandungnya, seorang nenek di Banyumas dihukum penjara 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao dengan alasan belum makan selama beberapa hari, segalanya kekerasan, ketidakadilan, kriminalitas, pelecehan dan seterusnya. 
Dan kita masih dengan lantang mengakui "kita adalah negara yang kaya akan budaya".
Aku sepakat!
Tanpa dengan merubahnya menjadi "negara yang kaya akan orang-orang berbudaya". Karena orang-orang berbudaya kini tinggal mitos. Anggap saja itu inovasi bukan dekadensi. Lantas hidup tinggal menunggu kematian semesta. Anggap itu dekadensi bukan inovasi, maka seni dan kebudayaan harusnya membicarakan nilai dan moral. Bukan lagi soal batik modern, karawitan jazz atau wayang kontemporer.
      Asumsikan bahwa nilai-nilai tradisi sudah tidak berguna untuk kehidupan zaman ini, maka aku cuma ingin mempertanyakan bagaimana nilai-nilai yang sudah mengakar sejak dulu itu, bisa kita anggap tidak berguna lagi? Soal modernitas? Soal sekulerisme? Westernisasi?
Aku rasa aku tidak perlu sampai menyebutkan negara-negara modern yang kita tahu masih memegang nilai-nilai tradisinya sampai hari ini.