Sunday, March 2, 2014

AKU DAN KAIN PUTIHNYA



Ia berjalan setengah berlari. Berhenti di sebuah tempat dan kemudian menggali tanah yang diinjaknya dengan kedua tangannya. Sesuatu diangkatnya. Kain putih. Yang lalu ia bawa ke arahku sambil kemudian berkata,

“Tembok-tembok kita, peradaban kita berdiri diantara kerangka-kerangka ini. Proklamasi, revolusi, suksesi orde dan reformasi. Kau harus tahu harga itu. Supaya kau tahu nilai setiap saat kamu berpijak di atasnya. Sejarah kita hari ini.”

Ia nampak bergegas. Tapi aku ingin sekali memintanya untuk menunggu sebentar lalu kemudian mulai berbicara tentang cinta dengannya. Tapi ia mengingatkan,

“Di negeri ini, cinta itu politis. Kau tidak bisa membicarakannya sebelum kau membayar sejumlah uang ke ratusan meja birokrasi itu. Sebelum lembaga sensor memberikan definisi yang tak bisa kau ubah lagi. Dan sebelum pemilu menentukan siapa yang berhak mendapatkan cinta itu.”

Ia memberikan kain itu. Lalu pergi melanjutkan. Tapi aku masih saja ingin menahannya,

“Aku selalu suka dengan bagaimana kau memperlakukan rambutmu seperti itu. Mengikat bagian pinggirnya dan membiarkan rambut belakangmu terurai seperti itu” kataku.

Ia berbalik. Dan tersenyum dengan senyuman paling indahnya,

“Temui aku di negeri lain.”


No comments: